Dini hari.
Antara setengah tidur, setengah terjaga, kulihat bayangan itu. Seorang perempuan. Awalnya wajahnya mirip Sherina dengan lagu ‘Geregetan’ yang jadi iklan itu, tetapi tiba-tiba wajahnya berubah. Rambutnya memanjang dan wajahnya berubah menjadi lebih mengerikan. Ah, kutepis pikiranku sendiri. Mungkin ini efek terlalu banyak nonton ‘Ghost Whisperer’-nya Jennifer Love Hewitt beberapa waktu yang lalu. Tetapi, adakah perempuan ini nyata? Atau hanya bayangku semata?
“ Akan kuambil bayimu. Berikan padaku,” begitu ujarnya. Seram. Bernada mengancam.
Dengan tenang, walaupun diliputi sedikit rasa takut, aku katakan, “ Jangan harap aku bisa menyerahkan apa yang sudah diberikan-Nya padaku. Lebih baik kau pergi saja, jangan menggangguku.”
Segera kudaraskan doa-doa mulai dari Salam Maria, sampai butiran kerahiman Ilahi yang dipopulerkan Santa Faustina. Berharap doa-doa itu ampuh untuk mengusir roh-roh jahat yang datang mengganggu. Jujurnya, aku bukan orang pemberani. Aku masih sama, orang yang tidak senang nonton film horor seperti masa kecilku dulu. Tetapi, ketika bertemu dengan hal-hal semacam ini, adakah cara lain selain berdoa?
Masih terlarut dalam kondisi saat itu, aku tetap berdoa. Tidurku tak lagi nyenyak. Kemarin dini hari juga kudengar suara perempuan yang mual dan muntah, seperti diriku. Tetapi, aku sendiri tengah berbaring di tempat tidur. Adakah itu suaranya?
Perlahan, bayangannya datang lagi. Tak lagi seseram sebelumnya. Malah kali ini dia mengajukan suatu permohonan, dia minta didoakan.
“ Soal apa?” tanyaku.
“ Aku membunuh anakku sendiri, makanya aku tak bisa mengampuni diriku dan aku tak bisa lancar menuju Tuhan.” Jawabnya lirih.
“ Mengapa kaulakukan itu?” Tanyaku lagi.
“ Suamiku tak mau menerima kami. Maka kuputuskan untuk membunuh bayiku, kemudian bunuh diri.” Jawabnya getir.
Pahit. Tragis. Aku mengganggukkan kepala.
“ Baik, aku doakan.” Jawabku.
“ Terima kasih,” katanya.
Segera kupanjatkan doa:
“ Tuhan ampunilah kesalahannya semasa hidupnya. Semoga dia beroleh pengampunan-Mu.”
Dia melambaikan tangannya sekali lagi padaku. Sambil menggendong seorang anak kecil yang kupikir adalah anaknya.
Bisikannya perlahan tapi pasti, “ Terima kasih.”
Malam-malam sesudahnya tak pernah lagi kudengar suara muntah-muntah itu yang pernah kudengar beberapa malam sebelumnya. Juga tak ada lagi wajah seram yang mengancam. Berdiri di antara kenyataan ataukah fantasiku semata. Entah. Yang pasti, doa tulusku kupanjatkan kepada-Nya bagi wanita itu dan bayinya.
-fon-