Membaca berita tentang tiga pesohor yang mendadak melejit namanya bahkan ada yang menjadi Trending Topics di Twitter, AR-LM-CT, pastinya membuat banyak orang terlanjur menghujat-memaki bahkan menghakimi mereka. Jujurnya, saya bukan fans mereka. Karena satu pun tidak pernah saya gila-gilai :) Saya respek pada AR dan kebesaran namanya di
Mungkin kelakuan mereka bukanlah kelakuan yang terpuji. Dan di tengah kondisi yang seolah memojokkan mereka akan kelakuan tidak terpuji itu, mereka mengalami banyak masalah, bahkan sampai ditahan segala. Jujurnya lagi, saya bukanlah ahli hukum yang tidaklah tahu persis mereka akan dijerat oleh pasal sekian ayat sekian. Yang saya tahu pasti, mereka korban yang apes juga walaupun sekali lagi tindakannya bukanlah tindakan yang mulia.
Teringat tulisan saya beberapa waktu yang lalu The Sky is the Limit, yang memuat tentang Edison Chan, pesohor dari Hongkong yang terkena kasus serupa tapi tak sama di bulan Januari 2008. Bedanya, walaupun
Setiap orang pernah salah. Salah besar, salah sedang, salah kecil, pastinya pernah terjadi dalam hidup kita. Banyak status FB di antara teman-teman saya yang bijaksana menuliskan tentang janganlah menghakimi pesohor yang sudah mendapatkan perlakuan kurang pantas sampai diukur segala hal di fisiknya, untuk mencocokkan dengan video yang beredar. Pantaskah, haruskah? Tapi, lagi-lagi saya bukanlah polisi, hakim, atau ahli hukum yang akan mengurusi jalannya peradilan mereka. Tetapi, sebagai umat Kristiani, saya tiba-tiba teringat ayat-ayat dari Kitab Yohanes yang menunjukkan bagaimana sikap Yesus ketika ahli Taurat dan orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan (dalam konteks tulisan ini bisa dibaca: pesohor) yang berbuat zinah (baca: merekam kemesraan mereka dan tersebar ke publik) sebagaimana tertulis berikut ini:
tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
(Yohanes 8: 1-11)
Agaknya kata-kata Yesus yang paling menarik hati saya adalah kata-kata sebagai berikut:
"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”
Dan kata-kata itu terbukti ampuh, karena akhirnya seorang demi seorang pergi dan tak ada yang melemparkan batu kepada perempuan yang berzinah itu.
Jika saya kembalikan kepada lemparan batu kepada tiga pesohor tersebut dan dalam konteks masih dari Yohanes 8 di atas, rasanya dalam imajinasi iman saya cocok juga bila dikatakan:
"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada tiga pesohor itu itu.”
Kalau kita putih bersih, tanpa cacat cela, tiada noda dosa, masih bolehlah kita mengutuk-mengata-ngatai mereka. Seolah apa yang mereka perbuat hina luar biasa sementara kita sudah berada pada posisis Santo/Santa, bahkan setengah dewa yang suci mulia. Padahal? Tanyalah jujur pada hati masing-masing, dosa apa yang saya pernah lakukan? Dan seberapa parah dosa itu sebenarnya jika dibandingkan dengan para pesohor ataupun dalam konteks Injil: wanita yang berzinah?
Terlalu sering kita melihat kuman di seberang lautan, tetapi tak mampu melihat gajah di pelupuk mata kita. Artis-artis itu, AR-LM-CT, sudah pusing dengan permasalahan mereka sendiri. Dalam hati mereka pastinya mereka menyesali juga sampai kejadian begini. Tentunya saya tidak tahu penyesalan itu sampai sejauh mana, sampai sedalam apa. Saya hanya bisa menghimbau setiap dari kita tidak menjadi hakim yang sok menilai orang lain SALAH BESAR, sementara kita sendiri tidak lebih baik dari mereka. Mungkin dosa kita berbeda dengan apa yang menjadi kelalaian mereka. Tetapi, bukan berarti kita tiada cacat cela, bukan? Tak perlu seolah munafik dan berpikir kita lebih baik daripada mereka dengan mengecam mereka. Itu berarti kita sudah menempatkan diri kita sejajar dengan Dewa atau Santo/Santa yang begitu suci. Dan terakhir, bukankah sebaiknya kita bersimpati pada penderitaan orang? Bukankah kita sebaiknya tidak tertawa terbahak-bahak di atas penderitaan orang lain? Malahan kita bersimpati dengan mereka yang kesusahan dan berduka.
Semoga kasus ini terselesaikan dengan baik. Bukan dengan merendahkan martabat mereka sebagai manusia, tetapi mengakui bahwa tiap manusia---termasuk diri kita--- tak pernah lepas dari salah.
HCMC, 25 Juni 2010
-fon-
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment