Dua hari sebelum berangkat ke
Seorang teman baik, memberikan saya salib. Bentuknya kecil, cukup mungil sehingga memudahkan saya untuk membawanya. Dia bilang, maksudnya untuk tetap mengingatkan saya agar tetap berdoa. Namun, saya memandangnya sebagai hal yang lain. Saya merasa diingatkan agar selalu setia pada salib yang saya pikul. Kesetiaan yang setidaknya mengacu kepada kesetiaan Yesus yang tetap setia sampai mati di kayu salib.
Salib bagi tiap orang memang macam-macam. Terkadang bagi orang lain, terlihat seperti sesuatu yang ringan atau sebaliknya terlihat sebagai sesuatu yang berat. Bagi orang yang menjalankannya, tergantung pemahamannya akan salib. Tergantung pula relasi yang bersangkutan dengan Allah. Tergantung pula akan cara pandangnya terhadap hidup dan kemauan untuk belajar terus untuk menjadi lebih baik. Salib, mengingatkan saya bahwa saya berjalan dalam hidup yang tidak selalu mudah, tetapi salib (dosa manusia) yang tidak seharusnya ditanggung Yesus pun, mau Dia tanggung. Mengapa saya tidak mau tabah dalam memikul salib saya? Hal itu pun menyadarkan saya untuk mengandalkan Yesus dalam hidup ini. Karena saya tidak selalu kuat, saya tidak pernah tahu di depan nanti ada permasalahan macam apa yang ditawarkan kehidupan kepada saya. Namun, dengan mengandalkan Yesus, dengan setia bersama Dia, segala perkara mampu ditanggung di dalam Dia yang mengasihi kita.
Misa pertama saya di gereja lokal
Di Na Tho Thi Nghe inilah saya mendapatkan pengalaman pertama misa dalam Bahasa
Tuhan dengarlah doaku ini, hadirlah disini
Tuhan dengarlah doaku ini, dengarkanlah aku...
Lagu ini dinyanyikan ketika doa umat dipanjatkan, setiap akhir doa umat, disambung dengan irama lagu ini. Dan ternyata misa dalam Bahasa
Anak-anak kecil yang tengah katekumen (belajar agama) masih dilatih menyanyikan lagu (yang saya duga) semacam Aku percaya atau kemuliaan. Dari pukul 07.30 mereka menyanyi sampai menjelang misa pukul 08.00 pagi. Hati saya campur baur, satu sisi memang tidak mengerti, sisi lain mengagumi kebesaran Tuhan yang disembah oleh seluruh bangsa dalam berbagai bahasa. Namun, Tuhan yang kita sembah dan kita puja itu adalah satu, Kristus sendiri. Pengalaman ini menakjubkan! Terbayang, di banyak belahan dunia: dari Afrika, Eropa, Asia, Amerika, Australia, dan Antartika, Tuhan Yesus disembah dalam segala bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi kekhusyukan mereka dalam berdoa. Tuhan memang ajaib! Dia bisa menyentuh hati setiap insan. Dalam budaya, bahasa, adat, kebiasaan yang berbeda, Tuhan selalu menyapa dengan khas. Tuhan mengerti hati setiap manusia. Tuhan mengerti hati setiap umat-Nya!
Di samping kanan altar, terdapat gambar Yesus Andalanku. Dari seminar Devosi Kepada Kerahiman Ilahi yang saya ikuti di
Pada tanggal 22 Februari 1931, Tuhan kita menampakkan diri kepada St Faustina dalam suatu penglihatan. Ia melihat Yesus berjubah putih dengan tangan kanan-Nya terangkat untuk menyampaikan berkat, sementara tangan kiri-Nya menunjuk pada hati-Nya, darimana dua sinar besar memancar, satu berwarna merah dan yang lainnya berwarna pucat. St Faustina terpaku menatap Tuhan dalam keheningan, jiwanya diliputi rasa takut sekaligus sukacita yang besar. Yesus berkata kepadanya:
“Buatlah sebuah lukisan menurut gambar yang engkau lihat dengan tulisan di bawahnya: Yesus, Engkau Andalanku…. Aku berjanji, jiwa yang menghormati lukisan ini tak akan binasa. Aku juga menjanjikan kemenangan atas para musuhnya bahkan sejak di bumi ini, dan teristimewa pada saat ajal. Aku Sendiri yang akan membelanya sebagai kemuliaan-Ku (47,48).… Aku menawarkan timba kepada jiwa-jiwa dengan mana hendaknya mereka terus-menerus menimba rahmat-rahmat dari sumber belas kasih. Timba itu adalah lukisan ini dengan tulisan: `Yesus, Engkau Andalanku' (327)…. Aku menghendaki lukisan ini dihormati, pertama-tama di kapelmu, dan lalu di seluruh dunia (17).”
Taat pada permintaan pembimbing rohaninya, St Faustina menanyakan kepada Tuhan makna kedua sinar yang memancar dari hati-Nya. Maka, ia mendengar kata-kata berikut sebagai jawaban:
“Kedua sinar itu melambangkan Darah dan Air. Sinar pucat melambangkan Air yang menguduskan jiwa-jiwa. Sinar merah melambangkan Darah yang adalah hidup jiwa-jiwa. Kedua sinar ini memancar dari kedalaman belas kasih-Ku saat Hati-Ku yang sengsara dibuka oleh sebilah tombak di atas Salib… Berbahagialah jiwa yang tinggal dalam naungannya, sebab tangan keadilan Tuhan tidak akan menimpanya (299).… Dengan sarana lukisan ini, Aku akan menganugerahkan banyak rahmat kepada jiwa-jiwa. Lukisan ini akan menjadi sarana pengingat akan tuntutan-tuntutan belas kasih-Ku, sebab bahkan iman yang terkuat sekalipun tak akan ada gunanya tanpa perbuatan (742).”
Pada tanggal 2 Januari 1934, Sr Faustina untuk pertama kali meminta Tn. Kazimierowski melukis gambar Yesus Yang Maharahim.
Pada bulan Juni 1934 lukisan selesai dibuat, tetapi Faustina menangis kecewa karena lukisan tidak seindah penampakan yang disaksikannya. Kepada Yesus ia mengeluh, “Siapakah kiranya yang akan dapat melukis Engkau seagung Engkau sendiri?” Sebagai jawab, ia mendengar kata-kata berikut:
“Keagungan lukisan ini bukan terletak pada indahnya warna ataupun goresan kuas, melainkan dalam rahmat-Ku (313).”
Oleh karenanya, walau sekarang ini ada banyak versi lukisan “Yesus, Engkau Andalanku,” kita dapat senantiasa yakin bahwa tak peduli lukisan versi mana yang kita pilih, lukisan tersebut merupakan sarana rahmat Tuhan jika kita menghormatinya dengan penuh kepercayaan akan kerahiman-Nya. (sumber: http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id354.htm, di mana salah satu referensi buku yang dipakai adalah Yesus, Engkaulah Andalanku dari Stefan Leks, terbitan Kanisius tahun 1993.)
Lagi-lagi saya merasakan sapaan Tuhan untuk tetap mengandalkan Dia dalam hidup ini. Di mana pun saya di tempatkan. Bahkan di negeri antah-berantah yang tak saya mengerti bahasanya, seperti di sini. Anehnya, saya tidak merasa asing di sini. Mungkin juga karena
Lukisan itu mengingatkan pula akan kerahiman Ilahi. Doa Kerahiman Ilahi dan Santa Faustina. Mengingatkan saya akan dosen yang memperkenalkan hal ini kepada saya, Pak Stefan Leks. Dan mengingatkan pula agar tetap setia, tidak takut akan apa pun. Karena ketakutan adalah manusiawi, pasti pernah terjadi. Namun, penting agaknya untuk tidak didikte oleh ketakukan tanpa bisa melakukan apa pun. Seolah terpenjarakan oleh ketakutan itu sendiri.
Yesus akan tetap menjadi andalan saya. Saya akan terus memperjuangkan hal itu. Untuk hari-hari yang tak pernah kita tahu di depan
HCMC,
-fon-
* ucapan terima kasih khusus untuk Bapak Stefan Leks. God bless you, Pak. Saya berterima kasih untuk persahabatan dan pengajaran Bapak selama 3 tahun di KPKS St. Paulus,
No comments:
Post a Comment