Maling Itu (Juga) Manusia
Halo, teman-teman semua, Citylighters sekalian!
Senang rasanya berjumpa lagi setelah sekian tahun tidak mengisi kolom di majalah Shalom Betawi ini. Mungkin bagi yang ingat, saya pernah mengisi kolom Citylighters di Shalbe ini dari tahun 2004-2007. Waktu itu saya masih berada di
Bagi yang belum ingat dan belum kenal, perkenalkan nama saya: Fonny Jodikin biasa dipanggil Fonny atau Fon. Profesi saya ibu rumah tangga yang gemar menulis:).
‘Nice to meet you all!’
Dari sinilah saya akan menuliskan setiap bulannya, pengalaman apa saja yang saya lihat-pikirkan-rasakan plus imajinasi dan inspirasi yang mengalir. Saya mau cerita sedikit, boleh ya? :)
Sekitar sebulan yang lalu, ketika naik taksi di HCMC di malam hari. Saat saya melewati ‘Saigon Square 2’ di Jalan Ton Duc Thang yang baru saja dibuka untuk umum sekitar tiga bulan lalu (saya di sini sudah 4 bulan). Saya melihat dua orang pemuda yang lari ke jalan raya hampir mendekati taksi kami dan melintasi mobil lainnya. Yang satu tertangkap di pinggir jalan, yang satu lagi dikejar oleh sekitar belasan petugas keamanan ‘
Di Indonesia, kejadian menangkap maling dan mengadili mereka semacam ini juga merupakan hal yang biasa. Gara-gara maling ayam, seorang maling bisa ‘digebukin’ sampai hampir mati. Gara-gara uang sepuluh ribu, seorang copet bisa dihabisi tanpa peduli. Dalam menghakimi orang-orang semacam ini, kasih rasanya jauh sekali dari dalam hati. Adakah pengalaman kita pernah ikut-ikutan memukuli maling atau copet seperti itu? Mungkin tidak, mungkin juga iya. Namun, di balik perlakuan mereka yang jahat: mengambil milik orang lain, tentunya ada alasan di balik tindakan itu. Mungkin memang keluarga mereka sangat miskin dan butuh pertolongan, tetapi tak ada cara lain yang terpikirkan karena Sang Suami baru di-PHK. Mungkin mereka tak punya pendidikan, jadi tak bisa dapat pekerjaan baik dan hanya bisa kerja kasar yang menghasilkan uang sedikit saja. Mungkin dan mungkin… Begitu banyak kemungkinan yang terlintas di kepala saya. Dan ironisnya, seperti banyak yang dilansir media, orang yang melakukan kejahatan lebih dengan menggelapkan uang negara atau korupsi misalnya, malah hidup tenang. Sementara yang melakukan kejahatan kecil saja, habis babak belur kena main hakim sendiri-nya masyarakat sekitar yang melihatnya.
Saya termenung. Hidup memanglah amat ironis. Lagi-lagi, saya hanya bisa memohon rahmat-Nya. Betul-betul memohon kasih-Nya agar meliputi hati saya, meliputi hati kita, sehingga kita tak begitu mudah langsung menghukum orang yang bersalah. Bagaimana kalau kita berada di posisinya? Bagaimana kalau yang tidak punya uang, lapar, menderita, dan tak tahu harus berbuat apa adalah diri kita dan keluarga kita? Memang mereka bersalah dan banyak kali pencuri itu menjadi kebiasaan yang akut. Sekali tertangkap tidak kapok, malahan mengulanginya lagi. Lagi dan lagi. Terus dan terus. Tanpa henti. Tetapi, biarlah kita diingatkan untuk tetap mengasihi sesama dan tidak main hakim sendiri.
Alkitab mengatakan:
Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
--- Lukas 10:27
Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Di luar pentingnya mengasihi Allah dengan segenap hati-jiwa-kekuatan dan akal budi kita, penting bagi kita untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Adakah kaudengar ketukan kasih-Nya untuk kaubagikan kepada sesamamu hari ini? Mari berbagi dan kurangi menghakimi.
Maling (baca: penjahat) itu juga manusia, jangan perlakukan dia dengan perlakuan yang tidak manusiawi. Bila mungkin tingkatan kejahatannya sudah amat parah, saya yakin tetap akan ada sistem yang berlaku untuk mengadili mereka.
‘And last but not least’: bukankah penghakiman itu milik Tuhan? Mari merenungkan ini semua dan mencari pembelajaran di dalamnya. Terima kasih sudah membaca dengan setia sampai akhir tulisan ini. Sampai jumpa bulan depan:)
HCMC, 25 Maret 2010
-fon-
* dimuat di majalah Shalom Betawi edisi April-Mei (aku belum lihat majalahnya, so not so sure). Citylighters adalah sebutan bagi Anak Muda Jakarta di majalah tersebut, istilah ini dibuat dengan menarik oleh Sdr. Riko Ariefano ketika beliau menjabat sebagai ketua di organisasi BPK KAJ Seksi Kepemudaan, sedangkan saya waktu itu di Literature Ministry, pelayanan penulisan bagi anak muda.
Sumber gambar:
http://www.liferollercoaster.com/wp-content/uploads/robber.gif
No comments:
Post a Comment