Tulisan saya kemarin mengenai Oom Phillip (Phillip Garrido) yang sering berkhotbah, fundamentalis dan mengaku berbahasa lidah namun menjadi tersangka utama pelaku penculikan dan kejahatan seksual terhadap Jaycee Lee Durgan selama belasan tahun, mendapatkan sebuah tanggapan dari seorang sahabat saya. Dan saya kira, karena apa yang dia rasakan adalah umum dan real (bisa dirasakan oleh setiap orang pada satu masa kehidupannya), jadi saya berniat untuk share pertanyaannya dalam tulisan kali ini. Dengan jujur, sahabat saya itu mengaku demikian:
Sampai sekarang, gw kadang malas ke Gereja, gw lihat orang2 di sekitar gw, yang rajin ke Gereja, rajin ikut kegiatan lingkungan, doa sana-sini, tapi kelakuannya nol gede.
Gw tau itu gak boleh, tapi gimana, Fon?
Kadang udah sebel lihat orang yang muna kayak gitu...
Sejujurnya saya pun pernah mengalami kekecewaan yang sama. Saya pun pernah kecewa dengan orang-orang yang saya anggap rohani, tetapi kelakuannya tak mencerminkan kasih Kristus sama sekali. Hanya untungnya, saya tak pernah berhenti ke gereja. Karena saya merasa perlu membina hubungan pribadi saya dengan Tuhan Yesus sendiri. Yang saya yakini, apabila kita bersahabat dekat dengan seseorang, tidak jumpa seminggu rasanya tak enak. Dengan kekasih hati misalnya, tak jumpa seminggu, langsung tak enak badan. Bisakah kita terapkan hal yang sama kepada Yesus? Bukankah Yesus juga kekasih jiwa kita?
Jawaban saya kepada sahabat saya itu: saya mengerti perasaannya, dia tidak sendirian. Namun, saya juga menghimbau dia, bahwa urusan ke gereja bagi saya adalah urusan saya dengan Tuhan. Artinya, saya ke gereja karena saya mau menyambut tubuh Kristus, menyambut Kristus sendiri karena kedekatan relasi saya dengan-Nya. Masalah orang lain bagaimana, bagi saya itu tidak akan mengganggu hubungan saya dengan Tuhan. Karena itu di luar kuasa saya. Mau Ketua Lingkungan bagaimana keq, mau ketua organisasi mau gimana juga, keq… Itu urusan dia dengan Tuhan. Jadi, saya tidak mau mencampuri urusan orang lain. Yang saya benahi adalah diri saya sendiri. Ketika saya tidak ingin ke gereja, saya juga mencari tahu, apa yang salah antara relasi saya dengan Tuhan? Apa saya ada kecewa denganNya? Atau apa? Setelah itu membenahi diri, berdoa, termasuk melakukan sakramen pengakuan dosa, dan kembali ke gereja.
Sampai hari ini, dalam segala ups and downs saya yang masih baru kurang dari 10 tahun menjadi Katolik (karena saya dibaptis tahun 2000), sayaberusaha untuk tetap ke gereja, tetap mencintai-Nya dengan sepenuh hati, walaupun kadang saya kecewa dengan keadaan sekitar, dengan orang-orang yang rohani tapi koq kelakuan jauh dari itu, dengan diri sendiri, dengan Tuhan, namun saya tetap berusaha setia. Walaupun saya pernah kecewa,saya juga ungkapkan kekecewaan itu, dalam relasi yang baik, seharusnya semua perasaan diungkapkan apa adanya. Saya kecewa Tuhan, namun saya berusaha menerima…mungkin kira-kira seperti itu…
Dengan tidak bermaksud menggurui siapa pun, karena saya masih amat muda dalam ke-Katolikan saya, saya hanya ingin mengingatkan sekali lagi, apa yang orang lain lakukan yang menimbulkan kekecewaan di hati kita, jangan sampai menjadi penghalang hubungan kita yang indah dengan Tuhan. Indah bukan karena kesempurnaannya, namun karena hubungan kita sudah mengalami proses naik turun, dan kita tetap setia. Tetap ke gereja. Tetap rindu menerima tubuh Kristus melalui komuni. Rindu sakramen Maha Kudus yang bertahtah, rindu…untuk sekadar 1-2 jam berjumpa denganNya di gereja sekali seminggu paling tidak.
Dengan segala keterbatasan saya sebagai ibu seorang anak balita yang mengurus sendiri, saya berusaha tetap setia untuk mengatur waktu ke gereja, biar pun jadwal berantakan tergantung anak siapnya kapan, yang penting saya commit untuk ke gereja, no matter what. Hanya karena saya cinta Yesus dan Yesus cinta saya melebihi yang saya pikirkan!
Singapore, 31 August 2009
-fon-
* saya bukan orang yang sempurna, hanya berusaha membalas cinta Tuhan dengan hal-hal kecil yang saya lakukan sepenuh hati. And special thanks to my friend, yang udah ngasih izin buat menuliskan percakapan via email kami. GBU
my writings especially dedicated for Jesus. For His goodness and never ending kindness in my life.
Monday, August 31, 2009
Sunday, August 30, 2009
Phillip Garrido
Phillip Garrido, tiba-tiba jadi naik daun di beberapa pemberitaan akhir-akhir ini, terutama berkenaan dengan pemberitaan dia menculik seorang gadis kecil di saat sang gadis berusia 11 tahun. Si gadis kecil itu bernama Jaycee Lee Dugard. Bukan hanya stop di situ, Phillip bahkan memiliki anak yang tinggal di pekarangan belakang rumahnya dari hasil melakukan kejahatan seksual kepada Jaycee.
Sebagai sesama perempuan, hati saya berseru: keterlaluan…!
Dan yang lebih membuat saya mengelus dada agar bisa lebih bersabar karena si Oom Phillip ini ternyata sering berkhotbah. Menurut info dari Associated Press yang saya baca di the Straits Times, dikatakan sebagai berikut:
They (his neighbors) described him as a religious fundamentalist who often preached from his front yard and wanted to set up his own church. Garrido boasts of his ability to ‘speak in the tongue of angels’ on a blog called voices revealed.
Yang lebih tidak tertahankan batin saya, ketika si Oom berseru bahwa dia mau mendirikan gerejanya sendiri, seorang yang fundamentalis, dan sering berkhotbah. Ditambah lagi, katanya dia membanggakan kemampuan berbicara dalam bahasa lidah bak malaikat…Dan malaikat mana yang melakukan kekejian seperti itu? Koq bisa-bisanya?
Bicara Tuhan, bicara agama, bicara ‘talenta’ atau kemampuan yang diberikan Allah, adalah hal yang biasa dan terkesan mudah. Namun, ketika masuk kepada tindakan sehari-hari, cerminan hidup itulah yang lebih mudah dilihat orang daripada sekadar omong belaka.
Sejujurnya, saya juga tidak berani menghakimi Phillip Garrido, karena saya juga tidak tahu persis apa yang melatarbelakangi kegilaan dia akan seks dan segala tindakan dia yang selalu berada pada area kejahatan seksual. Pasti ada sesuatu yang mengakibatkan dia menjadi seperti itu dan saya belum tahu. Namun, yang mengganggu hati saya adalah ketika seseorang mengatakan bahwa dia beriman, bahwa dia memiliki keyakinan yang kuat akan Tuhan sampai ingin membangun gerejanya sendiri, namun pada kenyataannya tak mampu mengontrol dirinya sendiri termasuk dorongan seksualnya.
Sekali lagi, saya bukan seorang dewi atau malaikat yang tanpa dosa. Saya pun memiliki banyak kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Yang saya tahu pasti, saya hanya ingin berusaha untuk menjadi orang yang menjalankan apa yang saya imani. Memang tidak mudah, dan ada pula kecenderungan di beberapa lembaga rohani yang terlihat malah sebaliknya, semakin rohani koq tingkahnya semakin antik? Semakin sering marah dan semakin tak mampu mengontrol diri? Bukankah itu amat bertentangan dengan apa yang selalu didengung-dengungkan?
Sering kali saya kecewa juga ketika berhadapan dengan orang yang ‘tampaknya’ rohani namun kelakuannya jauh dari itu. Sampai saya sempat bertanya-tanya dalam hati, koq bisa ya di depan ngomongnya lain, kelakuannya lain pula?
Tapi, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari seorang teman yang mengatakan bahwa itu adalah proses pemurnian. Kalau seseorang semakin rohani dan semakin menampakkan kasih Allah, artinya dia mengalami pelajaran yang sempurna. Ketika semakin rohani, orang pun semakin diproses dan ditantang sebetulnya untuk jadi makin mencirikan Kristus sendiri. Yesus sendiri. Sampai satu saat di waktu kecewa dulu, saya pikir, saya tidak mau jadi orang ‘rohani’ kalau hanya bagus di luarnya, tapi dalamnya? Maaf, bobrok…
Namun, seiring dengan proses yang ada, akhirnya saya berhasil mengatasi kekecewaan dalam diri, tidak terlalu berharap banyak pada orang lain apalagi berdasarkan level kerohanian mereka dan pada akhirnya berusaha menjadi orang yang semakin mencirikan Kristus sendiri.
Of course, itu bukan pekerjaan mudah. Banyak kekurangan saya yang juga masih terus diasah, dibenahi oleh Tuhan. Namun, saya hanya bisa berjanji dalam hati, semoga kebaikan Kristus dan cinta-Nya mengisi hati saya sehingga saya bisa lebih sabar menghadapi sekitar yang bikin frustrasi, orang-orang yang bikin be te, sekaligus orang-orang yang menyebalkan.
Memang, saya juga mengalami jatuh bangun dalam menyeimbangkan iman saya dengan perbuatan saya. Namun, saya berdoa untuk kita semua, semoga semakin hari, kita semakin indah dalam Dia, menjadi anak-anak kesayangan-Nya dan menyebarkan lebih banyak kasih Kristus ke dalam dunia yang penuh kesakitan ini.
Oom Phillip, no hard feeling ya, Oom… Cuma, pengalaman Oom bikin aku belajar, biar tidak seperti itu… Semoga kalau aku cuap-cuap tentang Allah, tentang Yesus Kristus sendiri, smoga aku gak cuman ngomong doang, tapi karena aku sungguh-sungguh mengimani dan itu bisa ditunjukkan dalam perbuatanku.
Kan kata Yakobus, Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia, kan Oom???
Peace ya, Oom.. Semoga saat-saat ini bisa bikin Oom bertobat dan kembali ke jalan yang benar….
Singapore, 31 August 2009
-fon-
* abis baca koran Strait Times dan pengen menuangkan perasaan soal Jaycee Lee Dugard dan Phillip Garrido.
Sebagai sesama perempuan, hati saya berseru: keterlaluan…!
Dan yang lebih membuat saya mengelus dada agar bisa lebih bersabar karena si Oom Phillip ini ternyata sering berkhotbah. Menurut info dari Associated Press yang saya baca di the Straits Times, dikatakan sebagai berikut:
They (his neighbors) described him as a religious fundamentalist who often preached from his front yard and wanted to set up his own church. Garrido boasts of his ability to ‘speak in the tongue of angels’ on a blog called voices revealed.
Yang lebih tidak tertahankan batin saya, ketika si Oom berseru bahwa dia mau mendirikan gerejanya sendiri, seorang yang fundamentalis, dan sering berkhotbah. Ditambah lagi, katanya dia membanggakan kemampuan berbicara dalam bahasa lidah bak malaikat…Dan malaikat mana yang melakukan kekejian seperti itu? Koq bisa-bisanya?
Bicara Tuhan, bicara agama, bicara ‘talenta’ atau kemampuan yang diberikan Allah, adalah hal yang biasa dan terkesan mudah. Namun, ketika masuk kepada tindakan sehari-hari, cerminan hidup itulah yang lebih mudah dilihat orang daripada sekadar omong belaka.
Sejujurnya, saya juga tidak berani menghakimi Phillip Garrido, karena saya juga tidak tahu persis apa yang melatarbelakangi kegilaan dia akan seks dan segala tindakan dia yang selalu berada pada area kejahatan seksual. Pasti ada sesuatu yang mengakibatkan dia menjadi seperti itu dan saya belum tahu. Namun, yang mengganggu hati saya adalah ketika seseorang mengatakan bahwa dia beriman, bahwa dia memiliki keyakinan yang kuat akan Tuhan sampai ingin membangun gerejanya sendiri, namun pada kenyataannya tak mampu mengontrol dirinya sendiri termasuk dorongan seksualnya.
Sekali lagi, saya bukan seorang dewi atau malaikat yang tanpa dosa. Saya pun memiliki banyak kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Yang saya tahu pasti, saya hanya ingin berusaha untuk menjadi orang yang menjalankan apa yang saya imani. Memang tidak mudah, dan ada pula kecenderungan di beberapa lembaga rohani yang terlihat malah sebaliknya, semakin rohani koq tingkahnya semakin antik? Semakin sering marah dan semakin tak mampu mengontrol diri? Bukankah itu amat bertentangan dengan apa yang selalu didengung-dengungkan?
Sering kali saya kecewa juga ketika berhadapan dengan orang yang ‘tampaknya’ rohani namun kelakuannya jauh dari itu. Sampai saya sempat bertanya-tanya dalam hati, koq bisa ya di depan ngomongnya lain, kelakuannya lain pula?
Tapi, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari seorang teman yang mengatakan bahwa itu adalah proses pemurnian. Kalau seseorang semakin rohani dan semakin menampakkan kasih Allah, artinya dia mengalami pelajaran yang sempurna. Ketika semakin rohani, orang pun semakin diproses dan ditantang sebetulnya untuk jadi makin mencirikan Kristus sendiri. Yesus sendiri. Sampai satu saat di waktu kecewa dulu, saya pikir, saya tidak mau jadi orang ‘rohani’ kalau hanya bagus di luarnya, tapi dalamnya? Maaf, bobrok…
Namun, seiring dengan proses yang ada, akhirnya saya berhasil mengatasi kekecewaan dalam diri, tidak terlalu berharap banyak pada orang lain apalagi berdasarkan level kerohanian mereka dan pada akhirnya berusaha menjadi orang yang semakin mencirikan Kristus sendiri.
Of course, itu bukan pekerjaan mudah. Banyak kekurangan saya yang juga masih terus diasah, dibenahi oleh Tuhan. Namun, saya hanya bisa berjanji dalam hati, semoga kebaikan Kristus dan cinta-Nya mengisi hati saya sehingga saya bisa lebih sabar menghadapi sekitar yang bikin frustrasi, orang-orang yang bikin be te, sekaligus orang-orang yang menyebalkan.
Memang, saya juga mengalami jatuh bangun dalam menyeimbangkan iman saya dengan perbuatan saya. Namun, saya berdoa untuk kita semua, semoga semakin hari, kita semakin indah dalam Dia, menjadi anak-anak kesayangan-Nya dan menyebarkan lebih banyak kasih Kristus ke dalam dunia yang penuh kesakitan ini.
Oom Phillip, no hard feeling ya, Oom… Cuma, pengalaman Oom bikin aku belajar, biar tidak seperti itu… Semoga kalau aku cuap-cuap tentang Allah, tentang Yesus Kristus sendiri, smoga aku gak cuman ngomong doang, tapi karena aku sungguh-sungguh mengimani dan itu bisa ditunjukkan dalam perbuatanku.
Kan kata Yakobus, Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia, kan Oom???
Peace ya, Oom.. Semoga saat-saat ini bisa bikin Oom bertobat dan kembali ke jalan yang benar….
Singapore, 31 August 2009
-fon-
* abis baca koran Strait Times dan pengen menuangkan perasaan soal Jaycee Lee Dugard dan Phillip Garrido.
Friday, August 28, 2009
In the Still of the Night
Malam telah tiba dengan segala misterinya. Gelap. Sekaligus tenang.
Ada malam-malam di mana ketenangan itu tampaknya pergi dariku. Menjauh, bersembunyi entah di mana. Namun, ada juga waktunya di mana malam datang dengan senyumnya yang menghanyutkan. Di mana malam membawaku kepada kejadian-kejadian yang terjadi di hadapanku sepanjang hari itu. Satu demi satu.
Seperti beberapa malam lalu. Aku teringat ketika berada di satu RS swasta. Suasana rapi, bersih, dan terkesan berkelas agak dikejutkan dengan dorongan yang membawa seorang pasien. Seorang nenek tua yang dipenuhi selang dan tampak pasrah. Dengan mulut yang menganga. Tiba-tiba dia melintas di hadapanku. Mataku menatap wajahnya dengan rasa campur aduk. Yang dominan: kasihan. Yang lain, aku hanya berpikir, itu bisa terjadi pada setiap orang, suatu ketika. Memang yang namanya sakit tak pernah diduga kapan datangnya, di usia berapa, di saat apa. Terkadang perubahan itu terlalu cepat, rasanya baru kemarin semua bercanda tertawa bahagia. Dan hari ini, ketika petir datang menyambar, ketika vonis mengatakan seseorang terkena penyakit yang belum ditemukan obatnya, penyakit yang aneh dan mematikan, sungguh tidak mudah menerimanya.
Hidup membawaku kepada pengalaman-pengalaman yang berbeda. Dalam buku kehidupanku hari ini, membawaku kepada petualangan yang penuh keceriaan di Jurong Bird Park, misalnya. Sementara saat berikutnya, petualangan itu membawaku ke arah keprihatinan, kesadaran, akan kata sementara yang memang tak pernah lepas dari pikiranku seperti di RS itu tadi. Yang mengingatkanku bahwa hidup hanya sementara. Hidup ini singkat. Kadang terlalu singkat bagi sebagian orang yang kukenal yang harus pergi di usia dua puluhan, yang bahkan tak sempat mengecap masa-masa tua mereka.
Hidup juga memberikan pengalaman baru, ketika kulihat seseorang yang muda awalnya menjadi tua dan kemudian mengalami sakit berat. Dengan berjalannya waktu, aku pun belajar melihat hidup dengan lebih seimbang. Berusaha melihat hidup dengan berbagai wajahnya. Mencoba untuk tidak terlalu sering ‘complain’ walaupun itu adalah hal yang sulit. Mencoba menerima hidup sebagaimana adanya hari ini tanpa keserakahan yang menghalalkan segala cara hanya untuk jadi lebih kaya, lebih terkenal, atau lebih-lebih yang lainnya.
Mencoba hidup dalam ketenangan walaupun dunia di luar sana kacau balau, penuh peperangan, penuh strategi yang saling menjatuhkan, penuh kemunafikan…
Mencoba hidup benar, sementara di luar sana begitu banyak yang menawarkan godaan dengan berbagai cara yang tidak baik.
Mencoba dan terus mencoba…
Dalam ketenangan malam ini, ketika kumasuk kembali ke masa heningku, aku mencari wajah Yesus di dalamnya. Sebetulnya wajah-Nya bisa kulihat juga di perempuan tua di RS itu, di wajah innocent bayi-bayi yang kulihat di dokter anak, atau di wajah kakek-kakek yang membersihkan jalanan depan rumahku.
Wajah Yesus ada di setiap insan. Wajah Yesus ada di tiap diri manusia. Dan pertanyaannya: mampukah aku (tetap berusaha) untuk melihat setiap manusia dengan kasih? Bahwa ada Yesus di dalam diri mereka?
Jawabannya: aku tidak selalu mampu. Dengan keterbatasanku, terkadang aku terpengaruh rasa benci, rasa tidak suka, rasa takut, tetapi aku mau! Aku mau berusaha melihat bahwa ada Yesus dalam diri mereka. Ada kebaikan dalam diri seseorang yang kubenci. Dan ada hal baik dan buruk dalam diriku juga yang berpadu menjadi satu, yang kupersembahkan kepada Yesusku dalam ketenangan malam ini.
Yesus, Engkau Mahahadir! Engkau ada di setiap manusia. Mampukan aku melihat Engkau di setiap orang yang kutemui saat ini, esok atau lusa.
Singapore, 28 August 2009
-fon-
Ada malam-malam di mana ketenangan itu tampaknya pergi dariku. Menjauh, bersembunyi entah di mana. Namun, ada juga waktunya di mana malam datang dengan senyumnya yang menghanyutkan. Di mana malam membawaku kepada kejadian-kejadian yang terjadi di hadapanku sepanjang hari itu. Satu demi satu.
Seperti beberapa malam lalu. Aku teringat ketika berada di satu RS swasta. Suasana rapi, bersih, dan terkesan berkelas agak dikejutkan dengan dorongan yang membawa seorang pasien. Seorang nenek tua yang dipenuhi selang dan tampak pasrah. Dengan mulut yang menganga. Tiba-tiba dia melintas di hadapanku. Mataku menatap wajahnya dengan rasa campur aduk. Yang dominan: kasihan. Yang lain, aku hanya berpikir, itu bisa terjadi pada setiap orang, suatu ketika. Memang yang namanya sakit tak pernah diduga kapan datangnya, di usia berapa, di saat apa. Terkadang perubahan itu terlalu cepat, rasanya baru kemarin semua bercanda tertawa bahagia. Dan hari ini, ketika petir datang menyambar, ketika vonis mengatakan seseorang terkena penyakit yang belum ditemukan obatnya, penyakit yang aneh dan mematikan, sungguh tidak mudah menerimanya.
Hidup membawaku kepada pengalaman-pengalaman yang berbeda. Dalam buku kehidupanku hari ini, membawaku kepada petualangan yang penuh keceriaan di Jurong Bird Park, misalnya. Sementara saat berikutnya, petualangan itu membawaku ke arah keprihatinan, kesadaran, akan kata sementara yang memang tak pernah lepas dari pikiranku seperti di RS itu tadi. Yang mengingatkanku bahwa hidup hanya sementara. Hidup ini singkat. Kadang terlalu singkat bagi sebagian orang yang kukenal yang harus pergi di usia dua puluhan, yang bahkan tak sempat mengecap masa-masa tua mereka.
Hidup juga memberikan pengalaman baru, ketika kulihat seseorang yang muda awalnya menjadi tua dan kemudian mengalami sakit berat. Dengan berjalannya waktu, aku pun belajar melihat hidup dengan lebih seimbang. Berusaha melihat hidup dengan berbagai wajahnya. Mencoba untuk tidak terlalu sering ‘complain’ walaupun itu adalah hal yang sulit. Mencoba menerima hidup sebagaimana adanya hari ini tanpa keserakahan yang menghalalkan segala cara hanya untuk jadi lebih kaya, lebih terkenal, atau lebih-lebih yang lainnya.
Mencoba hidup dalam ketenangan walaupun dunia di luar sana kacau balau, penuh peperangan, penuh strategi yang saling menjatuhkan, penuh kemunafikan…
Mencoba hidup benar, sementara di luar sana begitu banyak yang menawarkan godaan dengan berbagai cara yang tidak baik.
Mencoba dan terus mencoba…
Dalam ketenangan malam ini, ketika kumasuk kembali ke masa heningku, aku mencari wajah Yesus di dalamnya. Sebetulnya wajah-Nya bisa kulihat juga di perempuan tua di RS itu, di wajah innocent bayi-bayi yang kulihat di dokter anak, atau di wajah kakek-kakek yang membersihkan jalanan depan rumahku.
Wajah Yesus ada di setiap insan. Wajah Yesus ada di tiap diri manusia. Dan pertanyaannya: mampukah aku (tetap berusaha) untuk melihat setiap manusia dengan kasih? Bahwa ada Yesus di dalam diri mereka?
Jawabannya: aku tidak selalu mampu. Dengan keterbatasanku, terkadang aku terpengaruh rasa benci, rasa tidak suka, rasa takut, tetapi aku mau! Aku mau berusaha melihat bahwa ada Yesus dalam diri mereka. Ada kebaikan dalam diri seseorang yang kubenci. Dan ada hal baik dan buruk dalam diriku juga yang berpadu menjadi satu, yang kupersembahkan kepada Yesusku dalam ketenangan malam ini.
Yesus, Engkau Mahahadir! Engkau ada di setiap manusia. Mampukan aku melihat Engkau di setiap orang yang kutemui saat ini, esok atau lusa.
Singapore, 28 August 2009
-fon-
Thursday, August 27, 2009
Shelter
It’s raining. It’s been two days in a row. The weather nowadays changes rapidly. At one moment of time, it will be sunny shiny day. And suddenly the next minute, the cloud begins to gather and flocked at one side. The color changes as well, it turned darker and darker, becomes grey. And suddenly, it rains!
Whether it’s hot or rain, we tend to look for shelter.
Either it’s only an umbrella that we can carry wherever we go, a bus shelter where we can stop for a while-waiting-then continuing the journey, a mall-where we can wait and do more things, or a house- a place of our own.
We need a shelter.
Jesus is my shelter. Not only a shelter, actually He’s also my shield and the source of my strength.
But by making Jesus my shelter, I got the assurance that everything will be OK.
It’s not because the road will be smooth without any obstacles, but it’s merely because He’s there to be with me. Stay by my side whenever or wherever I go.
By making Jesus as my shelter, I won’t be afraid. Not because I’m super brave, but merely because I can gather more strength and power from Him.
A shelter is a place where we can feel secured, in times of bad weather. And Jesus is the answer of this. Life isn’t always about good things, successful things, or happy times. But moreover, it has another side of negativity: downturn trend. Sickness, unhappiness, bad days, pain, fear, worries, anxieties.
And the question of life is actually how to deal with these things. When it’s good times, it’s easy to cope. But, what if things go wrong? What if it turns far away from our original plan?
Stay cool…
No worries…
Because we have the shelter, the shield, the strength in Jesus. (-fon-)
Singapore, August 27, 2009
-fon-
* The rain has stopped. But the shelter will be forever. In Jesus’ safe hands.
Whether it’s hot or rain, we tend to look for shelter.
Either it’s only an umbrella that we can carry wherever we go, a bus shelter where we can stop for a while-waiting-then continuing the journey, a mall-where we can wait and do more things, or a house- a place of our own.
We need a shelter.
Jesus is my shelter. Not only a shelter, actually He’s also my shield and the source of my strength.
But by making Jesus my shelter, I got the assurance that everything will be OK.
It’s not because the road will be smooth without any obstacles, but it’s merely because He’s there to be with me. Stay by my side whenever or wherever I go.
By making Jesus as my shelter, I won’t be afraid. Not because I’m super brave, but merely because I can gather more strength and power from Him.
A shelter is a place where we can feel secured, in times of bad weather. And Jesus is the answer of this. Life isn’t always about good things, successful things, or happy times. But moreover, it has another side of negativity: downturn trend. Sickness, unhappiness, bad days, pain, fear, worries, anxieties.
And the question of life is actually how to deal with these things. When it’s good times, it’s easy to cope. But, what if things go wrong? What if it turns far away from our original plan?
Stay cool…
No worries…
Because we have the shelter, the shield, the strength in Jesus. (-fon-)
Singapore, August 27, 2009
-fon-
* The rain has stopped. But the shelter will be forever. In Jesus’ safe hands.
Wednesday, August 26, 2009
Concentrate More on Jesus
Setelah memiliki beberapa blog, menikmati networked blog dengan beberapa blogger lainnya, juga wadah milis dan blog bareng sesama penulis, saya merasakan kerinduan yang luar biasa untuk kembali menuliskan pengalaman-pengalaman saya bersama Yesus.
Karena pada awalnya ketika saya merasakan kasih-Nya yang luar biasa untuk pertama kalinya, ditambah saat Dia memberikan karisma-karismanya kepada saya, dan yang paling saya rasakan adalah karisma menulis, saya pernah memutuskan untuk hanya menulis bagi kemuliaan-Nya.
Dan semalam, ketika menjelang tidur, keinginan itu bertambah kuat. Mengingatkan saya kembali, yang sementara ini sepertinya terlanjur asyik dengan tulisan-tulisan saya yang lebih sekuler. Yang walaupun sekuler, tidak meninggalkan kesan akan Dia yang telah saya bagikan dengan lebih universal, namun rasanya agak kurang afdol bila saya tidak kembali menuliskan tentang Dia. Tentang perjalanan suka-duka saya di hidup ini bersama Yesus sendiri.
Ada rasa yang kurang ketika saya hanya menuliskan Tuhan. Karena bagi saya, Tuhan yang hidup yang saya imani adalah Yesus. Of course, ini berbeda dengan orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda, namun sejujurnya…jauh melampaui sekedar perasaan, saya sungguh merasakan perbedaan yang nyata dalam diri saya, ketika saya hanya menyebut Tuhan atau dengan melengkapinya sebagai Tuhan Yesus.
Sekali lagi, tanpa bermaksud mendiskreditkan agama mana pun atau kepercayaan mana pun, saya hanya menuliskan pandangan saya pribadi sebagai seorang Katolik, yang pernah dan masih amat merasakan kasih sayang-Nya, kasih sayang seorang Yesus yang hidup, yang selalu bersedia temani saya dalam seluruh perjalanan hidup saya.
Dalam keseharian saya, saya memiliki jadwal menuliskan sesuatu yang rohani, yaitu Thought of the Day (TOTD), renungan harian singkat berdasarkan ayat kitab suci. Namun, sejujurnya, di luar itu, saya masih merasa perlu untuk menuliskan cerita tentang Yesus lagi. Tentang kebaikannya dalam hidup saya. Dan bukan itu saja, termasuk bagaimana saya melewati masa-masa dalam kehidupan yang tidak selamanya mulus: kegagalan, kekecewaan, kekuatiran, ketakutan, perubahan, adaptasi dan sebagainya, tanpa lupa melihat peranan Yesus dalam membalut luka-luka dan semua masa yang tidak mulus itu dengan kasih-Nya. Serta menjadikan saya berani kembali mewartakan bahwa Dia, Yesus sendiri, yang memampukan saya melewati itu semua. Dengan campur tangan-Nya. Melalui keluarga, teman, kenalan, bahkan orang yang tak dikenal sekalipun, Yesus bisa berkarya dalam hidup kita dengan amat ajaibnya. Karena He’s amazing!
Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih. Ada orang yang memilih menjadi penyanyi rohani, walaupun penyanyi ini memiliki kemampuan lebih bahkan mampu menjadi seorang penyanyi yang ‘go international’, tetapi dia tetap mempersembahkan suaranya hanya bagi Tuhan, untuk kemuliaan Tuhan.
Sebagaimana menulis, saya memang belum menerbitkan satu buku pun, namun di saat ini, saya kepingin menentukan jalur saya yang moga-moga bisa konsisten, menulis bagi kemuliaan nama-Nya.Dan saya percaya, bila memang ini sesuai dengan jalan-Nya, suatu saat, Dia juga akan menyatakan kemuliaan-Nya dalam hidup saya. Amen :)
Mungkin, sepanjang perjalanan, saya juga bakal mencoba meng-explore banyak bidang tulis menulis lain seperti: cerpen, cerber, novel, atau pun puisi, dll.
Namun, saya merasakan kepuasan batin terbesar, apabila saya menulis bagi kemuliaan-Nya.
Menulis pun bisa macam-macam: bisa menulis gossip ataupun fitnah, bisa menulis science atau ilmiah, menulis sastra, ataupun menulis bagi-Nya. Lagi-lagi itu masalah pilihan.
Semoga saya bisa tetap setia menulis bagi-Nya, dalam segala keadaan, dalam segala situasi, hanya untuk sekali lagi meninggikan nama-Nya. Dan mengembalikan semua yang Yesus titipkan kepada saya bagi sesama.
Mungkin, tulisan dalam bentuk lain akan tetap ada, tetapi esensi akan Allah yang hidup, Yesus sendiri, tetap saya ingin tuliskan. Lagi dan lagi.
Please pray for me, friends…
Singapore, August 26, 2009
-fon-
* first article of my new blog Jesus, I adore YOU : http://fon4jesus.blogspot.com/
Karena pada awalnya ketika saya merasakan kasih-Nya yang luar biasa untuk pertama kalinya, ditambah saat Dia memberikan karisma-karismanya kepada saya, dan yang paling saya rasakan adalah karisma menulis, saya pernah memutuskan untuk hanya menulis bagi kemuliaan-Nya.
Dan semalam, ketika menjelang tidur, keinginan itu bertambah kuat. Mengingatkan saya kembali, yang sementara ini sepertinya terlanjur asyik dengan tulisan-tulisan saya yang lebih sekuler. Yang walaupun sekuler, tidak meninggalkan kesan akan Dia yang telah saya bagikan dengan lebih universal, namun rasanya agak kurang afdol bila saya tidak kembali menuliskan tentang Dia. Tentang perjalanan suka-duka saya di hidup ini bersama Yesus sendiri.
Ada rasa yang kurang ketika saya hanya menuliskan Tuhan. Karena bagi saya, Tuhan yang hidup yang saya imani adalah Yesus. Of course, ini berbeda dengan orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda, namun sejujurnya…jauh melampaui sekedar perasaan, saya sungguh merasakan perbedaan yang nyata dalam diri saya, ketika saya hanya menyebut Tuhan atau dengan melengkapinya sebagai Tuhan Yesus.
Sekali lagi, tanpa bermaksud mendiskreditkan agama mana pun atau kepercayaan mana pun, saya hanya menuliskan pandangan saya pribadi sebagai seorang Katolik, yang pernah dan masih amat merasakan kasih sayang-Nya, kasih sayang seorang Yesus yang hidup, yang selalu bersedia temani saya dalam seluruh perjalanan hidup saya.
Dalam keseharian saya, saya memiliki jadwal menuliskan sesuatu yang rohani, yaitu Thought of the Day (TOTD), renungan harian singkat berdasarkan ayat kitab suci. Namun, sejujurnya, di luar itu, saya masih merasa perlu untuk menuliskan cerita tentang Yesus lagi. Tentang kebaikannya dalam hidup saya. Dan bukan itu saja, termasuk bagaimana saya melewati masa-masa dalam kehidupan yang tidak selamanya mulus: kegagalan, kekecewaan, kekuatiran, ketakutan, perubahan, adaptasi dan sebagainya, tanpa lupa melihat peranan Yesus dalam membalut luka-luka dan semua masa yang tidak mulus itu dengan kasih-Nya. Serta menjadikan saya berani kembali mewartakan bahwa Dia, Yesus sendiri, yang memampukan saya melewati itu semua. Dengan campur tangan-Nya. Melalui keluarga, teman, kenalan, bahkan orang yang tak dikenal sekalipun, Yesus bisa berkarya dalam hidup kita dengan amat ajaibnya. Karena He’s amazing!
Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih. Ada orang yang memilih menjadi penyanyi rohani, walaupun penyanyi ini memiliki kemampuan lebih bahkan mampu menjadi seorang penyanyi yang ‘go international’, tetapi dia tetap mempersembahkan suaranya hanya bagi Tuhan, untuk kemuliaan Tuhan.
Sebagaimana menulis, saya memang belum menerbitkan satu buku pun, namun di saat ini, saya kepingin menentukan jalur saya yang moga-moga bisa konsisten, menulis bagi kemuliaan nama-Nya.Dan saya percaya, bila memang ini sesuai dengan jalan-Nya, suatu saat, Dia juga akan menyatakan kemuliaan-Nya dalam hidup saya. Amen :)
Mungkin, sepanjang perjalanan, saya juga bakal mencoba meng-explore banyak bidang tulis menulis lain seperti: cerpen, cerber, novel, atau pun puisi, dll.
Namun, saya merasakan kepuasan batin terbesar, apabila saya menulis bagi kemuliaan-Nya.
Menulis pun bisa macam-macam: bisa menulis gossip ataupun fitnah, bisa menulis science atau ilmiah, menulis sastra, ataupun menulis bagi-Nya. Lagi-lagi itu masalah pilihan.
Semoga saya bisa tetap setia menulis bagi-Nya, dalam segala keadaan, dalam segala situasi, hanya untuk sekali lagi meninggikan nama-Nya. Dan mengembalikan semua yang Yesus titipkan kepada saya bagi sesama.
Mungkin, tulisan dalam bentuk lain akan tetap ada, tetapi esensi akan Allah yang hidup, Yesus sendiri, tetap saya ingin tuliskan. Lagi dan lagi.
Please pray for me, friends…
Singapore, August 26, 2009
-fon-
* first article of my new blog Jesus, I adore YOU : http://fon4jesus.blogspot.com/
Subscribe to:
Posts (Atom)