Tuesday, May 18, 2010

Beri Sisa, Harap Melimpah



Senin-Jumat: sibuk, lari-larian, kejar-kejaran dengan waktu.

Sabtu-Minggu: penginnya relaks, penginnya santai, kalau bisa ke mal-salon-spa-nonton-restoran bareng keluarga.

Kapan sebetulnya kita punya waktu untuk-Nya? Pertanyaan itu menyentil saya pagi ini. Terkadang kita terlalu sibuk dengan seluruh keseharian kita dan itu mengakibatkan Dia hanya mendapatkan waktu sisa. Mungkin ada alasan yang baik: anakku ‘kan masih kecil, harus urus sendiri lagi. Jadi, maaf ya, Tuhan…waktunya buat dia dulu. Ok, itu betul. Tetapi, apakah benar-benar tak punya waktu atau benarnya: tak mau sediakan waktu bagi-Nya?

Setelah itu, setelah menempatkannya pada urutan ke-167 dari daftar kita atau malah lebih parah, ke-456 mungkin? Aneh ‘gak sih, kalau ada apa-apa yang tidak beres (yang tidak sesuai dengan keinginan kita), Dia lagi yang disalahkan.

“ Uh, Tuhan tidak adil!”

“ Ah, memang Tuhan pilih kasih!”

Sekarang logikanya begini: kalau kita kerjanya santai alias bermalas-malasan, kalau kita tak pernah mau kerja dengan baik di kantor, kalau kita maunya cuti melulu tapi mau dapat promosi dan bonus. Apa mungkin?

Tentunya Tuhan mengasihi kita semua manusia. Matahari, udara, angin, pelangi, seisi alam ini, dia persembahkan bagi semua manusia. Tak peduli baik atau jahat semua bisa menikmati hasil karya-Nya. Tetapi, tentunya Dia amat rindu kita pun berdoa, mencari wajah-Nya, bercakap-cakap dengan-Nya.

Sering kali, kita menempatkan Dia di urutan tak penting. Berdoa kepada-Nya ketika kepepet, ketika berbeban berat dan bermasalah. Kita kerap kali memberikan-Nya waktu sisa. Bukan yang utama. Herannya, kita mengharapkan hasil yang melimpah. Aneh ‘gak, sih?

Mungkin ada juga dari Anda yang bertanya: setelah menempatkan-Nya di atas segalanya, mengapa juga masih hidupku sulit juga? Mengapa tak jua kulihat titik terang dari seluruh hasil usahaku? Betulkah Anda sudah menempatkan Dia sebagai yang utama? Kalau iya, itu berarti iman Anda yang dibutuhkan untuk tetap percaya dan melihat seluruh penyelenggaraan-Nya dalam hidup Anda. Iman berarti tetap percaya pada-Nya walau kita belum melihat sesuatu apa pun saat ini. Percaya kalau Dia akan memberikan yang terbaik bagi kita asal kita tetap menempatkan diri-Nya di tempat pertama.

Sorry, God! Kalau seringnya aku sibuk dulu dengan urusanku dan duniaku, baru menyisakan waktu (kalaupun itu masih ada) untuk-Mu. Padahal aku tahu seharusnya aku mencari-Mu terlebih dahulu, barulah segalanya akan ditambahkan kepadaku.

Selagi masih ada waktu, mari sama-sama kita benahi diri. Kalau Anda yang sudah selalu menempatkan prioritas diri-Nya di atas segalanya, ‘congrats!’ Bagi mereka yang belum melakukan itu, semoga kita tersadarkan hari ini. Dia berhak dapat waktu kita yang utama, Dia berhak untuk kita ajak bicara dari hati ke hati senantiasa. Dia berhak mendapatkan itu semua. Maukah kita memberikan diri, mempercayakan semua harapan dan impian kepada-Nya?

Sehingga tidak terjadi: ‘ngasih’ sisa, ‘koq’ berharap hasil melimpah?

Ajarku terus tersadarkan: Engkaulah prioritasku. Setelah itu biarkan aku menyebarkan kasih-Mu ke dunia ini melalui keluargaku, sobatku, dan orang-orang yang mengenalku. Amin.

HCMC, 19 Mei 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://my3c.org/files/Daily%20Devotions/womanPraying.jpg

Wednesday, May 12, 2010

Maling Itu (Juga) Manusia


Maling Itu (Juga) Manusia

Halo, teman-teman semua, Citylighters sekalian!

Senang rasanya berjumpa lagi setelah sekian tahun tidak mengisi kolom di majalah Shalom Betawi ini. Mungkin bagi yang ingat, saya pernah mengisi kolom Citylighters di Shalbe ini dari tahun 2004-2007. Waktu itu saya masih berada di Indonesia dan sebagian tulisan lain kemudian saya tuliskan di Singapura, karena kepindahan saya ikut suami ke negara itu. Tak lama kemudian, kami pun dipindahkan lagi ke suatu negeri yang sekarang sering dikunjungi teman-teman dari Indonesia berkat pesawat yang murah meriah, Vietnam tepatnya Ho Chi Minh City (HCMC).

Bagi yang belum ingat dan belum kenal, perkenalkan nama saya: Fonny Jodikin biasa dipanggil Fonny atau Fon. Profesi saya ibu rumah tangga yang gemar menulis:).

‘Nice to meet you all!’

Dari sinilah saya akan menuliskan setiap bulannya, pengalaman apa saja yang saya lihat-pikirkan-rasakan plus imajinasi dan inspirasi yang mengalir. Saya mau cerita sedikit, boleh ya? :)

Sekitar sebulan yang lalu, ketika naik taksi di HCMC di malam hari. Saat saya melewati ‘Saigon Square 2’ di Jalan Ton Duc Thang yang baru saja dibuka untuk umum sekitar tiga bulan lalu (saya di sini sudah 4 bulan). Saya melihat dua orang pemuda yang lari ke jalan raya hampir mendekati taksi kami dan melintasi mobil lainnya. Yang satu tertangkap di pinggir jalan, yang satu lagi dikejar oleh sekitar belasan petugas keamanan ‘Saigon Square’. Saya sendiri tak menyangka kalau ada sekian banyak satpam di sana. Kalau saya pergi ke sana kelihatannya tidak sebanyak itu, tetapi malam itu banyak sekali yang mengejarnya. Dan singkat cerita, masih dalam antrian lampu merah kami (saya dan suami) melihat pemuda itu ditangkap dan diperlakukan secara kasar. Dalam hati saya membatin:kasihan… Habislah kamu, Anh! (Anh adalah sebutan untuk pria di Vietnam, mungkin setara dengan Mas atau Bung dalam Bahasa Indonesia-fon-)

Di Indonesia, kejadian menangkap maling dan mengadili mereka semacam ini juga merupakan hal yang biasa. Gara-gara maling ayam, seorang maling bisa ‘digebukin’ sampai hampir mati. Gara-gara uang sepuluh ribu, seorang copet bisa dihabisi tanpa peduli. Dalam menghakimi orang-orang semacam ini, kasih rasanya jauh sekali dari dalam hati. Adakah pengalaman kita pernah ikut-ikutan memukuli maling atau copet seperti itu? Mungkin tidak, mungkin juga iya. Namun, di balik perlakuan mereka yang jahat: mengambil milik orang lain, tentunya ada alasan di balik tindakan itu. Mungkin memang keluarga mereka sangat miskin dan butuh pertolongan, tetapi tak ada cara lain yang terpikirkan karena Sang Suami baru di-PHK. Mungkin mereka tak punya pendidikan, jadi tak bisa dapat pekerjaan baik dan hanya bisa kerja kasar yang menghasilkan uang sedikit saja. Mungkin dan mungkin… Begitu banyak kemungkinan yang terlintas di kepala saya. Dan ironisnya, seperti banyak yang dilansir media, orang yang melakukan kejahatan lebih dengan menggelapkan uang negara atau korupsi misalnya, malah hidup tenang. Sementara yang melakukan kejahatan kecil saja, habis babak belur kena main hakim sendiri-nya masyarakat sekitar yang melihatnya.

Saya termenung. Hidup memanglah amat ironis. Lagi-lagi, saya hanya bisa memohon rahmat-Nya. Betul-betul memohon kasih-Nya agar meliputi hati saya, meliputi hati kita, sehingga kita tak begitu mudah langsung menghukum orang yang bersalah. Bagaimana kalau kita berada di posisinya? Bagaimana kalau yang tidak punya uang, lapar, menderita, dan tak tahu harus berbuat apa adalah diri kita dan keluarga kita? Memang mereka bersalah dan banyak kali pencuri itu menjadi kebiasaan yang akut. Sekali tertangkap tidak kapok, malahan mengulanginya lagi. Lagi dan lagi. Terus dan terus. Tanpa henti. Tetapi, biarlah kita diingatkan untuk tetap mengasihi sesama dan tidak main hakim sendiri. Ada jalur hukum yang bisa dilalui, bukannya melalui tangan kita sendiri.

Alkitab mengatakan:

Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

--- Lukas 10:27

Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Di luar pentingnya mengasihi Allah dengan segenap hati-jiwa-kekuatan dan akal budi kita, penting bagi kita untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Adakah kaudengar ketukan kasih-Nya untuk kaubagikan kepada sesamamu hari ini? Mari berbagi dan kurangi menghakimi.

Maling (baca: penjahat) itu juga manusia, jangan perlakukan dia dengan perlakuan yang tidak manusiawi. Bila mungkin tingkatan kejahatannya sudah amat parah, saya yakin tetap akan ada sistem yang berlaku untuk mengadili mereka.

‘And last but not least’: bukankah penghakiman itu milik Tuhan? Mari merenungkan ini semua dan mencari pembelajaran di dalamnya. Terima kasih sudah membaca dengan setia sampai akhir tulisan ini. Sampai jumpa bulan depan:)

HCMC, 25 Maret 2010

-fon-

* dimuat di majalah Shalom Betawi edisi April-Mei (aku belum lihat majalahnya, so not so sure). Citylighters adalah sebutan bagi Anak Muda Jakarta di majalah tersebut, istilah ini dibuat dengan menarik oleh Sdr. Riko Ariefano ketika beliau menjabat sebagai ketua di organisasi BPK KAJ Seksi Kepemudaan, sedangkan saya waktu itu di Literature Ministry, pelayanan penulisan bagi anak muda.

Sumber gambar:

http://www.liferollercoaster.com/wp-content/uploads/robber.gif