Wednesday, June 30, 2010

Mengapa Kau Gelisah, Jiwaku?




Ya, TUHAN, lihatlah, betapa besar ketakutanku, betapa gelisah jiwaku; hatiku terbolak-balik di dalam dadaku….[a]

Kupandangi wajahku di cermin yang terletak di meja rias di kamarku. Wajahku yang tampan itu, mulai ditumbuhi kumis dan jenggot yang tak beraturan. Tak biasanya. Tak seharusnya. Karena aku yang metroseksual dan superstar ini, tak mungkin mengecilkan arti penampilan seperti itu. Di balik cermin itu, kulihat lagi diriku. Postur tinggi 178cm, berat badan seimbang. Gagah. Tetapi, aku tak lepas dari masalah. Ayahku yang sudah tua itu, tengah sakit kanker stadium tinggi. Tak ada lagi harapan baginya untuk sembuh. Karirku sendiri? Cukup baik, walaupun kuakui persaingan semakin ketat. Aku memiliki banyak rencana: konser, sinetron, film. Ya, terutama konser di Jepang di mana sebagian besar fansku di luar Korea berasal.

Jangan dikira kehidupan selebriti yang seolah indah itu tak pernah menawarkan duka. Justru, paket duka itu terlalu sering kuterima. Tak seindah film yang kumainkan, tak seindah musik yang kuperdengarkan. Tak jarang, aku merasa sepi, sendiri, tak punya lagi privasi. Aku ketakutan. Dengan hebat ia menggoncangkan hatiku. Gelisah jiwaku. Resah luar biasa. Seolah hatiku terbolak-balik di dalam dadaku. Tidur? Ia pun sudah lama tak berkawan denganku. Ia seolah jadi barang berharga yang mahal, karena untuk tidur pun aku harus minum obat-obatan penenang.

Terlalu pelik semuanya kutanggung sendiri. Sendiri? Iya, betul-betul sendiri, tanpa pernah percaya orang lain untuk berbagi. Tak jarang, aku ingin mati. Dengan mati, kupikir akan menyelesaikan banyak masalah. Yang pasti, aku tak harus menderita di dunia ini. Jangan bicara padaku soal Tuhan. Aku sendiri tak yakin Ia ada. Kalau Ia ada, mengapa semua seolah di luar kendali-Nya? Aku semakin yakin, bahwa aku memang harus mengendalikan hidupku sendiri. Bukan bergantung pada yang aku tak tahu pasti seperti itu.

Maafkan aku, Ayah! Aku harus pergi. Tak sanggup lagi kujalani hidup ini, kalau isinya semuanya simfoni duka tak berkesudahan. Kubasuh kakinya sekali lagi, sambil terus mengucap maaf. Semoga sungguh ia bisa maafkan aku. Kupandangi kabel charger yang tergeletak tak jauh dari meja riasku itu. Entah mengapa, hari ini dia begitu bersemangat memanggil-manggil aku dan memberikanku ide baru. Menjadikannya alat untuk mengakhiri hidupku….

Selamat tinggal, dunia. Cukup sudah kualami semua kepedihan ini. Aku adalah pengendali tunggal hidupku. Aku yang menentukan kapan aku mati dan dengan cara apa. Kalaupun harus seperti ini, aku puas. Setidaknya, inilah kematian yang sesuai dengan waktuku. Jangan lagi ceramahi aku soal Tuhan, keluarga, atau kemungkinan hidup bahagia. Aku sudah terlalu muak dengan kesemuanya itu. Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal gelisah, ketakutan, dan kecemasan. Hatiku, tenanglah kamu, karena ini semua akan berakhir.

Kuambil kabel charger itu, kugantung diriku. Selesai sudah… Selamat tinggal masalah!

***

Kurasakan rohku meninggalkan tubuhku. Jauh, melayang tinggi. Sementara di sampingku, dua malaikat pencabut maut terkekeh kegelian seolah puas aku telah mengikuti kemauan mereka, menghantarkanku menuju gerbang yang nampak indah berkilau. Inikah surga? Mengapa luarnya begitu indah? Ah, enak juga ternyata….Mati itu menyenangkan…! Satu sesal terberat adalah aku meninggalkan ayahku yang sakit keras. Aku yang muda ini memutuskan untuk pergi lebih dulu sebelum dia yang tua dan sakit-sakitan meninggal dunia. Sepanjang perjalanan, kulihat awan berarak, langit biru. Sementara di beberapa bagian, awan mulai menggumpal dan berwarna kelabu tua, membuatku ingin berenang di antaranya: menyambut hujan yang akan tiba. Kilatan petir menyambar di beberapa tempat, hujan deras, guntur pun seolah tak kompromi, tetapi aku terus melayang. Terbang. Ringan di udara.

Saat duduk di salah satu awan itulah, kudengar suara yang amat jelas. Memancar penuh sinar kemuliaan.

“ Mengapa kauakhiri hidupmu? Mengapa tidak menunggu waktu-Ku?”

“ Ah, apa pula urusanmu? Bukankah aku bebas berkehendak dan melakukan apa yang kumau?” Jawabku tak peduli.

“ Aku tahu kegelisahan hatimu, mengapa kau tidak mencari-Ku? Malahan kaupergi dari penyelenggaraan-Ku? Kau mungkin tertekan, kau memang gelisah. Tetapi, bukankah Kau juga bisa berharap kepada-Ku? Seperti Pemazmur yang serahkan seluruh takut dan gelisahnya kepada-Ku? Mengapa tidak kaulakukan itu?”

Tiba-tiba suara lain bergema. Suara malakaitkah itu? Yang pasti, kembali kulihat dua orang yang kali ini berbaju ‘broken white’, bersayap, dan memiliki lingkaran di atas kepalanya. Mereka terus mendaraskan kata-kata ini:

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku![b]

Terus dan terus, tak putus-putusnya mereka ucapkan itu.

Entah perkataan dari mana itu? Aku tak tahu, mungkin itu yang Dia katakan sebagai Pemazmur yang serahkan ketakutan dan gelisahnya? Aku masih tak mengerti…

Tiba-tiba saja kembali sepasang malaikat lain yang berwajah sangar serta berpakaian serba hitam mengangkutku secara paksa. Kucoba membebaskan diri, tetapi seolah sia-sia. Mereka membawaku ke pintu gerbang indah itu-yang nampaknya rupawan dan menggoda, tetapi aku tak tahu pasti ada apa di balik sana….


[a] Ratapan 1:20a

[b] Mazmur 42:11

HCMC, 1 Juli 2010

-fon-

* RIP Park Yong Ha, korean Superstar-actor, singer. Really sad that you have to leave this world on your own will…

Foto: Park Yong Ha


Friday, June 25, 2010

Lemparkan Batu Kepada Pesohor Itu



Membaca berita tentang tiga pesohor yang mendadak melejit namanya bahkan ada yang menjadi Trending Topics di Twitter, AR-LM-CT, pastinya membuat banyak orang terlanjur menghujat-memaki bahkan menghakimi mereka. Jujurnya, saya bukan fans mereka. Karena satu pun tidak pernah saya gila-gilai :) Saya respek pada AR dan kebesaran namanya di Indonesia yang menelurkan banyak lagu hits. Yang digemari anak-anak sampai kakek-nenek. Sampai di situ saja. Kalau LM dan CT, saya pun mengakui mereka memang cantik. Hanya sampai di situ saja. Yang pasti setelah beredarnya berita tentang mereka dan video yang menghebohkan itu, saya terus memonitor perkembangannya sebisa saya melalui saluran informasi online walaupun dalam hati saya tak pernah menghakimi mereka malahan jatuh kasihan juga di satu sisi.

Mungkin kelakuan mereka bukanlah kelakuan yang terpuji. Dan di tengah kondisi yang seolah memojokkan mereka akan kelakuan tidak terpuji itu, mereka mengalami banyak masalah, bahkan sampai ditahan segala. Jujurnya lagi, saya bukanlah ahli hukum yang tidaklah tahu persis mereka akan dijerat oleh pasal sekian ayat sekian. Yang saya tahu pasti, mereka korban yang apes juga walaupun sekali lagi tindakannya bukanlah tindakan yang mulia.

Teringat tulisan saya beberapa waktu yang lalu The Sky is the Limit, yang memuat tentang Edison Chan, pesohor dari Hongkong yang terkena kasus serupa tapi tak sama di bulan Januari 2008. Bedanya, walaupun Edison dikecam habis, dia mengakui kesalahannya. Mohon maaf dan menyingkir dari ‘showbiz’ Hongkong untuk kemudian konsentrasi di Hollywood. Anggaplah Hongkong berbeda dengan Indonesia dari sisi norma, peradilan, dan seterusnya. Tetapi, dari kasus yang kurang lebih sama menghebohkannya itu, setidaknya Edison diberi peluang kedua untuk kembali menjadi orang benar.

Setiap orang pernah salah. Salah besar, salah sedang, salah kecil, pastinya pernah terjadi dalam hidup kita. Banyak status FB di antara teman-teman saya yang bijaksana menuliskan tentang janganlah menghakimi pesohor yang sudah mendapatkan perlakuan kurang pantas sampai diukur segala hal di fisiknya, untuk mencocokkan dengan video yang beredar. Pantaskah, haruskah? Tapi, lagi-lagi saya bukanlah polisi, hakim, atau ahli hukum yang akan mengurusi jalannya peradilan mereka. Tetapi, sebagai umat Kristiani, saya tiba-tiba teringat ayat-ayat dari Kitab Yohanes yang menunjukkan bagaimana sikap Yesus ketika ahli Taurat dan orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan (dalam konteks tulisan ini bisa dibaca: pesohor) yang berbuat zinah (baca: merekam kemesraan mereka dan tersebar ke publik) sebagaimana tertulis berikut ini:

tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

(Yohanes 8: 1-11)

Agaknya kata-kata Yesus yang paling menarik hati saya adalah kata-kata sebagai berikut:

"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Dan kata-kata itu terbukti ampuh, karena akhirnya seorang demi seorang pergi dan tak ada yang melemparkan batu kepada perempuan yang berzinah itu.

Jika saya kembalikan kepada lemparan batu kepada tiga pesohor tersebut dan dalam konteks masih dari Yohanes 8 di atas, rasanya dalam imajinasi iman saya cocok juga bila dikatakan:

"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada tiga pesohor itu itu.”

Kalau kita putih bersih, tanpa cacat cela, tiada noda dosa, masih bolehlah kita mengutuk-mengata-ngatai mereka. Seolah apa yang mereka perbuat hina luar biasa sementara kita sudah berada pada posisis Santo/Santa, bahkan setengah dewa yang suci mulia. Padahal? Tanyalah jujur pada hati masing-masing, dosa apa yang saya pernah lakukan? Dan seberapa parah dosa itu sebenarnya jika dibandingkan dengan para pesohor ataupun dalam konteks Injil: wanita yang berzinah?

Terlalu sering kita melihat kuman di seberang lautan, tetapi tak mampu melihat gajah di pelupuk mata kita. Artis-artis itu, AR-LM-CT, sudah pusing dengan permasalahan mereka sendiri. Dalam hati mereka pastinya mereka menyesali juga sampai kejadian begini. Tentunya saya tidak tahu penyesalan itu sampai sejauh mana, sampai sedalam apa. Saya hanya bisa menghimbau setiap dari kita tidak menjadi hakim yang sok menilai orang lain SALAH BESAR, sementara kita sendiri tidak lebih baik dari mereka. Mungkin dosa kita berbeda dengan apa yang menjadi kelalaian mereka. Tetapi, bukan berarti kita tiada cacat cela, bukan? Tak perlu seolah munafik dan berpikir kita lebih baik daripada mereka dengan mengecam mereka. Itu berarti kita sudah menempatkan diri kita sejajar dengan Dewa atau Santo/Santa yang begitu suci. Dan terakhir, bukankah sebaiknya kita bersimpati pada penderitaan orang? Bukankah kita sebaiknya tidak tertawa terbahak-bahak di atas penderitaan orang lain? Malahan kita bersimpati dengan mereka yang kesusahan dan berduka.

Semoga kasus ini terselesaikan dengan baik. Bukan dengan merendahkan martabat mereka sebagai manusia, tetapi mengakui bahwa tiap manusia---termasuk diri kita--- tak pernah lepas dari salah.

HCMC, 25 Juni 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://www.google.com.vn/imglanding?q=judge%20cartoon&imgurl=http://www.wyrebc.gov.uk/page.aspx%3FImgID%3D979&imgrefurl=http://www.wyrebc.gov.uk/Page.aspx%3FPvnID%3D52880%26PgeID%3D745%26BrdCb%3D1-24-743-748&usg=__VyV5ePjbOVaR2h-XpXU3-c2hkv0=&h=283&w=300&sz=15&hl=vi&um=1&itbs=1&tbnid=iaRBQ6Yw7mmBvM:&tbnh=109&tbnw=116&prev=/images%3Fq%3Djudge%2Bcartoon%26um%3D1%26hl%3Dvi%26sa%3DG%26tbs%3Disch:1&um=1&sa=G&tbs=isch:1&start=6

Sunday, June 20, 2010

From Bo Sanchez inspiring blog: Don't be a Zombie

Don’t Be A Zombie

One day, a female doctor was working late in the hospital.

She was on the elevator with another woman.

When the elevator doors opened, the doctor saw a girl running towards the elevator. She gasped. She pressed the button and closed the doors.

The other woman asked her, “Doctora, why did you close the doors? I think that girl was coming in…”

With cold terror in her voice, the doctor said, “I know that girl. She was my patient. She died yesterday.”

“Died?” the other woman said. “How could she be dead? She was running. You must have been mistaken.”

The doctor shook her head. “Did you notice the red tag on her wrist? When a patient dies, the nurses attach a red tag on their wrists.”

The other woman said, raising her arm, “Like this one?”

Are You A Zombie?

You have two choices in life.

You can live deliberately or you can live passively.

There are many people alive now, walking, talking, eating… but inwardly, they’re dead. Especially when it comes to their decisions in life. They’re zombies.

Why?

They live passively.

They just accept what’s happening.

· Tempted to do the wrong thing? “I’m weak,” he’ll say.

· Can’t get a job? “Tough luck,” he’ll say.

· Family life is shallow? “I was raised this way,” he’ll say.

· Health is deteriorating? “My genes,” he’ll say.

· Poor and in debt? “My lot in life,” he’ll say.

But not to choose is already a choice!

Friend, God doesn’t want you to be a Zombie.

God wants you to live deliberately.

God wants you to choose wisely and pass the tests that life brings to us.

Let me share a beautiful story written by S.I. Kishor about a man who passed the test.

Will You Pass The Test Of Life?

John Blanchard was a soldier.

One day, in a library, he found an old book with a lot of writing in the margins. He read her handwritten notes in the book and admired their deep insights. At the front cover, he saw that the book was previously owned by a certain Hollis Maynell.

With much effort, he located her address. He wrote to her and told her about her old book and how he liked her written notes.

And she responded, thanking him for his kind words.

But that day, he was shipped overseas to fight in a war.

Still, they kept writing to each other. During the difficult times at the battlefield, her words inspired him and gave him hope.

Little by little, John was falling in love with her.

He requested for a photo, but she replied that if he really cared for her, it won’t matter how she looked.

Finally, he was going home.

They decided to meet at the Grand Central Station at 7pm.

He said he’d be in his soldier’s uniform bringing her old book.

And she said, “You’ll know me by the red rose I’ll wear on my lapel.”

When the train arrived at 7pm, John was there, wearing his neatly pressed military uniform, with her old book in his hand.

The first woman to step off the train was a beautiful woman in a green suit. But there was no red rose on her blouse.

John was disappointed. But she was so lovely, he kept looking at her. She walked in front of him, glanced at him with a smile, and asked, “Are you following me, soldier?”

A part of him wanted to follow.

But no, he had to wait for Hollis Maynell.

The next woman who stepped off the train had a red rose on her lapel. She was perhaps 45 years old. She had graying hair beneath her hat. And she was very overweight. Meantime, the beautiful woman in the green suit was walking away.

John was torn.

Yet he looked again at the woman who was wearing the red rose. He remembered her letters and what a fascinating a person she was. He remembered how wonderful her words made him feel. He told himself, “This may not be love. But this may be more than love. This will be a beautiful friendship with a lovely person.”

He walked up to her, straightened himself, handed the book to her and said, “My name is Lieutenant John Blanchard. You must be Ms. Hollis Maynell. I’m so glad you could meet me. May I have dinner with you tonight?”

The woman smiled. “I don’t know what this is about, son,” she answered, “but the young lady in the green suit asked me to wear this red rose on my coat. She also said that if you asked me out for dinner, she said she’d be waiting for you in the big restaurant across the street. She said it was some kind of test!”

Your Choices Shape Your Destiny

Imagine the end of this story: John and Hollis getting married, having kids, and growing old together.

Because he lived deliberately.

Because he made the right choice.

Because he passed the test.

Friend, life is a series of tests.

And your choices—your answers to the test—

will shape your destiny!

Sometimes, it’s a choice between love or lust.

Sometimes, it’s a choice between selfishness or selflessness.

Sometimes, it’s between what your heart wants and what your flesh wants.

Sometimes, it’s between what will bless you forever and what will give you pleasure this moment only.

Your life is really all up to you.

You’re the chef of your meal.

You’re the architect of your house.

You’re the scriptwriter of your movie.

You’re the composer of your song.

You’re the painter of your masterpiece.

At the end of the day, you decide how happy, fulfilled, and blessed you want to become.

For A Bowl Of Soup

One day, Jacob was cooking some bean soup.

And his elder brother Esau walked in very hungry. Esau was so hungry, he could eat a horse (with the jockey included). He said to Jacob, “I’m starving; Give me some of that red stuff.”

That was when his younger brother offered the most preposterous deal of the century. He said, “I’ll give it to you if you give me your rights as a firstborn son.”

Do you know how absurd this is?

It was like Jacob said, “I’ll give it to you if you give me your kidneys,” or “I’ll give it to you if you give me your eyeballs.”

We don’t see how insane it is because we don’t know what “firstborn” means.

As firstborn son, Esau enjoyed the highest honor.

As firstborn son, Esau represented his father in society.

As firstborn son, Esau had first choice in the family’s inheritance.

If you placed a monetary value to that, it would be worth millions. And Jacob was asking for all that for a single bowl of red soup!

But here’s what’s more preposterous: Esau agreed!

He threw all of that for a bowl of soup.

Absolutely nuts.

Don’t Be Like Esau;

Live Deliberately!

Don’t live passively.

Don’t live life sleeping on the wheel.

Don’t live by simply going through the motions.

Don’t live your life simply accepting what happens.

Don’t exchange your sonship for material things.

Don’t exchange God’s wealth for man’s wealth.

There will be many Jacobs along your path, who will try to steal your greatest treasures. There will be many Jacobs who will offer momentary pleasure in exchange for your sonship, for your dignity, for your peace-of-mind, for your long-term happiness.

When I think of Esau, I think of a man who had an affair with his secretary.

For a few moments of pleasure, he lost the trust of his wife, the unity of his family, the blessings for his children.

I too had an affair with my secretary. This affair lasted for 12 years. Of course, before I had an affair with her, we got married first. Because I live deliberately. (When I was still single, I was the boss and Marowe was my secretary. Now that we’re married, she’s my boss and I’m her secretary. Hay, buhay.)

Is The Driver Asleep?

Here’s another analogy: You’re the driver of your car!

I’ve heard people say, “God is now the driver of my life.”

That’s impossible.

God will never take the steering wheel of your life.

Because He asked you to drive.

You hold the steering wheel.

You call the shots.

You make the decisions.

You choose where to go.

But I’ve met a lot of people who fall asleep in the wheel.

They doze off.

They don’t take the right turns.

Worse, they take the wrong turns.

And disaster happens.

Even If You Fall,

Rise Up Again!

I repeat: Life gives you tests.

Sometimes, you fail those tests.

You make the wrong choices.

You fall.

You stumble.

You sin.

But failing in one test doesn’t mean you’ll fail in life.

I should know.

I’ve failed in many of my tests. (Many, many, many tests!)

But I’ve never given up.

I’ve got a word for you: God is the God of Second Chances.

Some people condemn themselves for making wrong decisions in their lives.

They are their own cruel judges.

· “I married the wrong person. I’ll never be happy.”

· “I got pregnant out of wedlock. I’m a single mom now. I blew my chance. I’ll never have a complete family.”

· “I had an affair. It destroyed my marriage. I lost my family. I will always be miserable.”

But don’t lose hope.

We all make mistakes. All of us do!

But God says, “I don’t look at your mistakes. Stop condemning yourself. Move on. Stand up again. I can still make your life beautiful. I can still fulfill your dreams. I’ll be here to supply all that you need to create a new life.”

Let me tell you my last story of how I failed a test…

How I Fell

I was twenty years old.

And still single.

I was attending a meeting in a province.

I asked one of the members of my organization, a young woman, to join me and help me in the meeting. (I never realized how dangerous this was. I never did this again. Since then, I’ve always went with another guy.)

We rode the long 9-hour bus trip together.

And we talked everything under the sun.

She had an attractive smile. And a demure, quiet disposition.

But something else was going on.

Sitting beside a young and lovely woman stirred up sexual feelings within me. My arm touching her arm. My leg touching her leg.

The long trip made us both sleepy.

Or I pretended to be sleepy. (Sorry, Lord.)

And I rested my head on her shoulder. (“Style mo bulok!”) Soon, I locked my arms around her waist—like she was my pillow. And she didn’t resist.

Why? As her religious leader, she trusted me so much.

Thankfully, nothing more happened.

When we got off the bus, I felt ashamed for what I did, because I exploited her trust. What I did was wrong. I abused my authority. I exploited our friendship.

We parted ways as though nothing happened.

That event happened more than twenty years ago.

It Could Have Destroyed Me

I was reminded of that experience recently.

Because one day, someone called me up.

She said she belonged to another prayer group. And she asked for advice. She said her prayer group leader was caught having sexual affairs with his female members. It was shocking. The news is now breaking the prayer group apart.

I sighed and prayed for her group.

After I put the phone down, I realized there was really no difference between that prayer group leader and me.

We both were guys.

We both fell.

We both were weak.

We both were surrounded by a lot of women who trusted us.

The only difference is that I stood up after I fell.

I exploited my female friend in the bus with an inappropriate hug. And I can remember falling at other times in my life.

But it never became a habit. (Jim Rohn says, “Failure is not an act. Failure is a habit.”)

I rose up from my failure.

I didn’t wallow in my sin.

God says in Isaiah 43:18-19, Forget about what has happened before, do not think about the past, instead look at the new thing I am going to do.

I repeat: When God looks at you, He doesn’t look at your failures. God doesn’t look at your mistakes. He looks at your beauty, your goodness, your holiness buried deep inside. He believes in you. He trusts that you’ll rise from your fall.

I’ve not lived perfectly.

But I’ve tried to live deliberately.

When confronted with choices, I try to be awake.

Not a zombie.

Not asleep in the wheel.

I invite you to do the same.

Live deliberately.

Pass the test.

Choose the best.

Your great future awaits.

May your dreams come true,

Bo Sanchez

The Choice-Max Lucado (Inspirational for me)

The Choice

by Max Lucado


IT’S QUIET. It’s early. My coffee is hot. The sky is still black. The world is still asleep. The day is coming.

In a few moments the day will arrive. It will roar down the track with the rising of the sun. The stillness of the dawn will be exchanged for the noise of the day. The calm of solitude will be replaced by the pounding pace of the human race. The refuge of the early morning will be invaded by decisions to be made and deadlines to be met.

For the next twelve hours I will be exposed to the day’s demands. It is now that I must make a choice. Because of Calvary, I’m free to choose. And so I choose.

I choose love . . .

No occasion justifies hatred; no injustice warrants bitterness. I choose love. Today I will love God and what God loves.

I choose joy . . .

I will invite my God to be the God of circumstance. I will refuse the temptation to be cynical . . . the tool of the lazy thinker. I will refuse to see people as anything less than human beings, created by God. I will refuse to see any problem as anything less than an opportunity to see God.

I choose peace . . .

I will live forgiven. I will forgive so that I may live.

I choose patience . . .

I will overlook the inconveniences of the world. Instead of cursing the one who takes my place, I’ll invite him to do so. Rather than complain that the wait is too long, I will thank God for a moment to pray. Instead of clinching my fist at new assignments, I will face them with joy and courage.

I choose kindness . . .

I will be kind to the poor, for they are alone. Kind to the rich, for they are afraid. And kind to the unkind, for such is how God has treated me.

I choose goodness . . .

I will go without a dollar before I take a dishonest one. I will be overlooked before I will boast. I will confess before I will accuse. I choose goodness.

I choose faithfulness . . .

Today I will keep my promises. My debtors will not regret their trust. My associates will not question my word. My wife will not question my love. And my children will never fear that their father will not come home.

I choose gentleness . . .

Nothing is won by force. I choose to be gentle. If I raise my voice may it be only in praise. If I clench my fist, may it be only in prayer. If I make a demand, may it be only of myself.

I choose self-control . . .

I am a spiritual being. After this body is dead, my spirit will soar. I refuse to let what will rot, rule the eternal. I choose self-control. I will be drunk only by joy. I will be impassioned only by my faith. I will be influenced only by God. I will be taught only by Christ. I choose self-control.

Excerpted fromLove, joy, peace, patience, kindness, goodness, faithfulness, gentleness, and self-control. To these I commit my day. If I succeed, I will give thanks. If I fail, I will seek his grace. And then, when this day is done, I will place my head on my pillow and rest.

From When God Whispers Your Name
Copyright (Thomas Nelson, 1999) Max Lucado

Sunday, June 13, 2010

Puji Tuhan



Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat! Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat! Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi! Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling! Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang! Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

--- Mazmur 150:1-6

Nien menangis sesenggukan ketika membaca ayat dari Kitab Mazmur itu. Adalah hal yang mudah- ketika segala keadaan baik adanya-untuk memuji Tuhan. Namun, jika yang tengah dialami adalah badai kehidupan yang berat semacam ini, masihkah ia bisa memuji nama-Nya?

Sebulan sebelum pernikahannya, malahan dia harus menghadapi kenyataan berat ini. Pembatalan pernikahannya dengan Victor. Memuakkan, sekaligus menyesakkan. Berpikir bahwa masa pacaran yang empat tahun itu cukup untuk membuatnya mengenal calon pasangannya. Kisah klise yang seolah terjadi hanya di film-film belaka terjadi juga pada dirinya. Victor pergi meninggalkannya. Yang gilanya dengan pimpinan EO pernikahan mereka sendiri. Apa daya, Winny memang memesona. Waktu pertama kali berjumpa Winny pun, sebetulnya Nien berhasil menangkap sinyal genit yang dikirimkan calon suaminya itu kepada Winny lewat kerlingan matanya. Nien mengerti, itu kelemahan Victor kalau lihat cewek cantik. Tetapi, apa ya mbok gak bisa tahan diri sedikit saja? Ini ‘kan lagian bersama calon istrinya, yang sudah dipacarinya empat tahun dan dalam hitungan bulan akan jadi istri sahnya.

Dalam diam, Nien mencatat semuanya dalam hati saja. Bungkam. Mungkin salah, tetapi dia tak bermaksud untuk menuduh Victor juga. Walaupun dia tahu, dia mungkin sudah terlanjur cinta dan berpikir dengan perkawinan mereka mungkin semuanya akan selesai. Begitu saja. Padahal sisi lain dari dirinya terus mengingatkannya, buat apa dilanjutkan kalau respek sudah tak ada? Sebetulnya hubungan mereka sudah terlanjur mencapai tingkah hambar. Hambar seolah sayur yang tanpa garam. Sayur yang kurang bumbu. Enggak enak ajalah. Tetapi, daripada nggak kawin? Sementara yang menunggu perkawinan Nien tercatat seluruh keluarganya dan berharap agar ekonomi mereka sedikit terangkat dengan menikahi besan yang kaya, menjadi satu beban tersendiri juga. Tidak semua anggota keluarganya memang. Ibunya tidak. Karena memang mama tidak mata duitan. Mama malah selalu menyarankan untuk ikut mata batinnya. Suara hatinya agar mengikuti apa yang dibisikkannya. Walaupun seruannya perlahan, walaupun kesannya nyaris tak terdengar, tetapi sebetulnya ia tak henti berbicara.

Setelah puas menyesali semua yang terjadi, mengasihani diri, sekaligus membenci kenyataan mengapa harus begini…Tiba-tiba suara itu tak lagi pelan. Tak lagi berbisik. Kali ini dia berkata tegas:

“ Teruslah berterima kasih untuk segala hal. Teruslah memuji Tuhan, apa pun yang terjadi. Segala pencobaan ini takkan melebihi kekuatanmu. Coba kau bayangkan, kalau suatu saat kau menikah nanti dan dia malah main gila serta menceraikanmu, apa kau mau? Belum lagi kalau nanti sudah ada anak dari kalian berdua, dia juga harus jadi korban kesalahan keputusan yang kaupaksakan.”

Nien terdiam. Hmmm, betul juga pikirnya.

Mengapa hanya keluh kesah saja yang keluar dari mulutnya? Mengapa bukan ucapan syukur? Mengapa bukan ucapan terima kasih bahwa dia terbebas dari seorang pria bernama Victor yang tak pernah respek padanya sebagai wanita, sebagai calon istri. Nien takut menghabiskan waktu dalam hidupnya sendirian, tetapi kalau menikah hasilnya ditinggal, juga apa gak lebih parah? Memang sih, apa yang terlihat sekarang bukanlah melulu jaminan. Mungkin saja, Victor berubah dan jadi betulan cinta padanya. Namun, dengan kenyataan semacam ini-pembatalan pernikahan ini, apa dia harus argumentasi lagi dengan Tuhan?

“ Maafkan aku, Tuhan, kalau selama ini ucapan yang keluar dari mulutku hanya caci-maki, keluh-kesah, dan mengasihani diri. Aku bukanlah orang yang kuat dalam menghadapi pencobaan semacam ini. Ditambah lagi, memang aku masih menyimpan rasa pada Victor walaupun dia memperlakukanku dengan tidak pantas. Tetapi, Tuhan. Izinkan aku mengubahnya hari ini. Ubah ucapan burukku jadi ucapan syukur. Puji Tuhan, terima kasih kepada-Mu kalau ternyata pernikahan ini tidak terjadi. Aku yakin, inilah jalan terbaik dari-Mu. Kalau malah terjadi, mungkin aku akan lebih menderita ketimbang derita perasaan yang kurasakan semacam ini. Aku percaya, Tuhan sekali lagi, bahwa rencana-Mu adalah yang terbaik. Kalaupun kesakitan ini harus kualami, tentunya Kau takkan tinggalkan aku, tak kurang panjang pertolongan-Mu padaku. Aku percaya pada-Mu. Biarkanlah aku memuji-Mu, mempersembahkan semua sakit yang kurasakan karena aku tahu dan percaya dengan memuji-Mu hal-hal yang positif akan datang kepadaku. Dengan memenuhi hidupku dengan keluh-kesah belaka, aku akan terus memenuhi kepalaku dengan hal-hal yang menyakitkan dan menambah palu kesakitan yang terus diketukkan di hatiku- tanpa henti ke dalamnya. Yang ada hanya nyeri dan pilu belaka. Aku tak mau lagi, Tuhan, menyakiti diriku. Mengecewakan-Mu. Biarkan aku memuji-Mu saja mulai detik ini sekaligus kembali percaya dalam iman bahwa memang inilah rencana terbaik-Mu dalam hidupku,” Nien menutup doanya saat itu, dirasakan ketenangan yang luar biasa. Dia tahu, mungkin luka itu akan coba bermain-main dengannya. Dengan kembali mengunjunginya, mengucapkan salam sesekali sambil berharap menguakkan kembali cerita lama. Semoga dia kuat di dalam Tuhan. Semoga dia terus bisa memuji nama Tuhan gantikan semua duka dan kecewa yang pernah singgah dengan pujian dan merasakan bedanya.

Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Ya, itu yang akan terus dilakukannya:)

Dua tahun kemudian…

Nien memandang lurus ke pekarangan rumahnya yang sudah penuh ditanami bunga-bunga yang indah. Ini rumahnya, rumah bersama suaminya, yang baru saja dinikahinya seminggu yang lalu. Perjumpaan mereka amat cepat, seolah tak terencanakan dan proses hubungannya dengan Joe terjadi secepat kilat. Dalam enam bulan mereka sudah serius dan berniat tunangan. Dalam setahun mereka sudah bicara soal gedung pernikahan. Dan minggu lalu mereka sudah naik ke pelaminan.

Setelah mengucap syukur, Tuhan mulai membuka satu per satu rencana-Nya akan pasangan hidupnya. Bukan lagi Victor yang kemudian ternyata kena karma atas Winny yang meninggalkannya bersama pria lain tak lama setelah mereka menikah.

Dirinya dan Joe melangkah pasti dalam kebersamaan. Dalam tuntunan tangan Tuhan. Akhirnya Nien bisa buktikan bahwa percaya itu indah bukan hanya sekadar judul lagu belaka, namun akan berlaku bagi mereka yang sungguh mempercayakan hidupnya kepada Tuhan.

Puji nama-Mu, Tuhan. Raja di atas segala raja. Penguasa segalanya. Takkan dirinya ragu lagi untuk terus berpegang pada-Nya dalam situasi terburuk atau terpuruk sekalipun…

Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

Nien akan terus berusaha melakukannya…Karena memang hanya Dialah yang layak dipuji dan ditinggikan untuk selama-lamanya…

HCMC, 11 -13 Juni 2010

-fon-

* mengingatkan diri sendiri ‘the power of praising’ adalah biar bagaimana pun akan lebih kuat daripada ‘the power of complaining’.

Sumber gambar:

http://ambassadoroftruth.files.wordpress.com/2009/08/worship.jpg