Monday, October 31, 2011

Datanglah Kepada-Ku…



Saya ingat kembali, ketika saya pertama kali menjejakkan kaki di sebuah pertapaan di kawasan Puncak tepatnya di akhir tahun 1999. Saya mengikuti misa hari itu bersama beberapa teman saya, padahal saya masih belum memeluk agama Katolik. Saya tidak merasa asing, karena dari kecil-tepatnya dari Sekolah Dasar (SD), saya disekolahkan orangtua saya di sekolah Katolik. Saya menghormati dan menaruh toleransi yang besar terhadap setiap agama, karena saya mempercayai bahwa setiap agama pada dasarnya adalah baik karena mengajarkan keselamatan bagi para pemeluknya. Juga niatan di awal setiap agama tentunya membawa kedamaian dan bukan sarana yang disetir atau dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk indoktrinasi, brain-wash, atau mencari keuntungan sendiri misalnya memperkaya diri, dan seterusnya. Semua itu adalah hal-hal yang menjauhkan agama dari tujuannya semula.

Saya tetap memeluk kepercayaan saya yang lama sampai saya lulus kuliah dan bekerja. Lagi-lagi, saya pikir, saya memang menghormati agama lain, tetapi saya tak pernah berniat untuk pindah agama. Karena selama bersekolah di sekolah Katolik pun, walaupun mengenal doa-doa seperti Salam Maria, Bapa Kami, maupun tata cara perayaan ekaristi, tetapi tidak membuat saya merasa terpaksa harus pindah. Saya nyaman-nyaman saja dengan kepercayaan yang saya anut dan tidak ada pemaksaan sedikit pun dari pihak sekolah atau pihak mana pun. Saya bebas menganut kepercayaan saya dan pilihan itu terletak di tangan saya. Saya pikir, akan selamanya saya menganut kepercayaan saya yang lama. Tetapi, di misa di tahun 1999 itu, ada sesuatu yang terjadi, yang tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Saya menyukai tempat beribadah yang tenang dan asri. Dan pagi itu, saya dapatkan semuanya di situ. Sembari menikmati suasana hening yang tercipta, tiba-tiba saat Romo berhomili, saya tersentak dengan kata-kata: “ Datanglah kepadaku, kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Entah mengapa saya mulai menangis. Hal yang tak pernah saya duga akan terjadi. Sebelumnya saya terkenal keras, logis, dan tak mudah menyerah. Jadi, mengapa kata-kata yang seperti itu saja seolah membuat saya terharu?

Saya tidak habis pikir. Dan tepatnya saya tak sempat berpikir banyak. Hanya menikmati suasana damai yang tiba-tiba memenuhi seluruh dinding hati saya. Tak terucapkan dengan kata-kata. Speechless. Hanya damai dan perasaan dikasihi mengaliri sekujur tubuh saya. Mungkin saya terlalu letih. Mungkin saya memang berbeban berat. Mungkin saat itulah Tuhan menyentuh hati saya untuk pertama kalinya. Roh kudus dengan lembut membisikkan bahwa saya tidak sendirian dalam menghadapi permasalahan dalam hidup ini. Bahwa saya dimengerti, bahwa ada kelegaan, itu saja yang saya alami hari itu. Saya diam. Masih kesulitan berkata-kata. Tetapi saya sadar, saat itulah Tuhan Yesus sudah mengetuk hati saya dan saya membukanya. Mungkin selama ini Ia selalu mengetuk, tetapi saya tengah sibuk. Terlalu sibuk dengan masalah yang selalu saya coba cari jalan keluarnya dengan kekuatan saya sendiri. Tetapi tak jarang buntu dan sempat membuat saya putus asa. Hari itu, seolah sebuah kekuatan baru dipompakan dalam hidupku. Dan saya sadar, itu karena-Mu, Yesus!

Saya aktif mencari-Nya juga di kala memeluk kepercayaan saya sebelumnya. Saya ikut banyak kebaktian setiap minggunya juga sampai mencari-Nya melalui peziarahan ke kota lain. Jauh, sendirian, hanya ingin mencari hadirat-Nya. Karena pada dasarnya saya percaya, kepenuhan hidup hanyalah di dalam Dia. Apa pun bisa terjadi dalam hidup ini, selama saya berpegang kepada-Nya, saya tidak akan goyah. Tetapi, tanpa sadar, saya terbiasa menghadapi apa-apa dengan kekuatan sendiri. Bersandar pada keyakinan, saya pasti bisa bahkan saya harus bisa. Lama-lama, menjadikan saya lelah, letih, dan merasa betul-betul sendirian dalam menghadapi kehidupan yang keras dan tak pernah mudah ditebak ini. Di saat itulah Yesus hadir dalam hidup saya dan membuat perbedaan. Beda karena di dalam diri-Nya, saya temukan sosok sahabat setia yang selalu ada di tiap detik kehidupan saya. Setiap babakan kehidupan dalam setiap halaman buku kehidupan saya bahkan telah dituliskan-Nya dengan sempurnya. Dia yang mengetahui segalanya, awal sampai akhir kehidupan saya. Bersama Dia, saya bisa curhat, sharing, akrab dalam doa. Saya sungguh bahagia. Kata yang lebih tepat menggambarkannya adalah sukacita. Sukacita tak tergantung suasana di luar. Mungkin masalah hidup saya belum selesai, tetapi saya punya seorang sahabat setia tempat saya berbagi semua yang saya alami dan yang saya rasakan dalam diri Yesus Kristus. Dan bukankah hidup adalah serangkaian masalah? Kalau mau kehidupan tanpa masalah, nanti ada saatnya, saat manusia berpulang ke rumah Bapa, bukan? Saya sungguh bahagia!

Setelah itu, saya langsung mengikut katekumen di sebuah Gereja Katolik di bilangan Jakarta Barat. Saya katekumen selama 1 tahun, didaftarkan oleh kakak tertua saya. Saya mengalami hal-hal yang menakjubkan dari sisi iman. Dan tentunya iman yang mula-mula itu dipenuhi semangat yang membara, seolah tak ada kecewa bersama Dia. Di akhir tahun 2000, saya dibaptis secara Katolik. Setelah itu, saya pun mengikuti beberapa seminar, kursus, retret, untuk menambah pengetahuan saya yang masih amat minim soal Kekatolikan. Sehingga, apabila saya ditanyai mengapa saya memilih Katolik, saya masih banyak bengongnya haha… Karena saya hanya mengikuti kata hati saya yang terbuka terhadap panggilan-Nya. Tanpa alasan yang jelas juga mengapa. Untuk itulah saya kira, saya memerlukan banyak bantuan dari teman-teman seiman yang lebih senior, juga retret, kursus atau seminar yang semakin mendekatkan diri saya pada-Nya.

Perlahan tetapi pasti, saya semakin terbuka pada-Nya. Hati yang menyala-nyala ingin melayani-Nya dan membagikan kasih-Nya yang sudah begitu nyata dalam diri saya kepada sesama berbuah beberapa pelayanan yang Dia percayakan pada saya. Dia selalu memakai sesuatu yang ada di dalam diri kita. Bukan sesuatu yang jauh. Dan saya percaya, bila Tuhan inginkan, Dia akan tambahkan sepanjang perjalanan kita. Karena suka menyanyi, bahkan sebelum dibaptis, dibukakan-Nya jalan untuk bergabung dengan tim pujian sebuah persekutuan doa di bilangan Jakarta Pusat. Saya mulai hafal lagu-lagu rohani, lalu kemudian melayani-Nya di bidang pujian sebagai ‘singer’. Tak lama, pertemuan dengan beberapa sahabat yang lebih senior, membukakan jalan bagi saya untuk menyanyi di band rohani sebagai singer. Suatu hal yang amat menyukakan bagi saya. Karena saya suka menyanyi dan apa lagi yang lebih indah dari menyanyi bagi kemuliaan-Nya?

Selain itu, karisma yang tertinggi dalam diri saya berdasarkan seminar karisma adalah karisma menulis. Hal yang tak pernah saya duga sebelumnya. Terheran-heran juga, karena saya memang pernah menulis dan cukup suka, tetapi untuk menulis hanya bagi kemuliaan-Nya? Wah, saya tidak tahu ya… Apa saya bisa, Tuhan? Keraguan demi keraguan terjawab sudah. Dengan tetap berpegang pada tangan-Nya, serta bergiat melakukan yang terbaik bagi-Nya, perlahan saya pun mulai menuliskan kebaikan-Nya dalam hidup saya serta membagikan kepada teman-teman saya terlebih dahulu untuk kemudian memberanikan diri mengirimkannya ke beberapa milis Katolik.

Naik-turunnya perjalanan iman saya bersama Kristus pasti pernah terjadi juga. Apalagi pemahaman saya yang masih muda ini, barulah 11 tahun saya jadi pengikut Kristus. Tetapi, setiap hari saya hanya memohonkan rahmat agar saya semakin terbuka pada-Nya sehingga apa pun yang ingin Dia tambahkan dalam hidup saya, saya terima dan berkata: “Ya, Tuhan. Inilah aku, pakai diriku seturut kehendak-Mu.”

Ada waktunya di mana saya merasa Tuhan tidaklah sama seperti waktu saya kenal pertama. Ada yang bilang itu adalah kasih mula-mula. Tetapi, sebagaimana halnya semua relasi, pasti ada naik turunnya, juga kemudian ada pengertian baru yang ditambahkan dari kedua belah pihak, untuk kemudian tercipta relasi yang makin kokoh dan kuat seiring berjalannya waktu.

Pernahkah saya kecewa dengan Tuhan? Tentu pernah, ya. Tetapi, untungnya…Puji Tuhan, tak lama saya pun disadarkan bahwa saya yang salah mengerti akan diri-Nya. Karena pada dasarnya Dia adalah baik dan akan selalu baik dalam hidup saya. Saya yang terlalu ‘demanding’, ingin ini dan itu, terkadang bahkan memaksakan kehendak saya pada-Nya. Ketika tidak mendapat apa yang saya inginkan, terkadang saya marah. Padahal, Dia yang tahu apa yang saya butuhkan, dan selama ini Dia selalu cukupkan segala sesuatu.

Hari-hari selanjutnya menjadi hari yang semakin kokoh di dalam iman. Karena saya percaya Tuhan tak pernah lepas tangan. Lewati semua rintangan kehidupan? Saya yakin dimampukan-Nya, karena Tuhan selalu bersama-sama saya. Jika saya membayangkan diri saya yang kecil di tengah dunia yang begitu luas, tentunya saya tidak berani, ya. Untunglah, Tuhan selalu setia menyertai kita dalam setiap kejadian dan episode hidup kita…. Ku tak takut, karena Kau selalu sertaku.

Saya percaya, Tuhan selalu ada bagi kita. Selalu memberikan yang terbaik di dalam rencana-Nya walaupun itu berarti amat berbeda dengan rancangan pribadi kita. Tetapi, Dialah Tuhan yang Maha Tahu. Tahu yang terbaik bagi semua anak-anak-Nya.

Undangan-Nya masih sama kepada setiap kita yang mau membuka hati kita pada-Nya… “ Datanglah kepada-Ku…”

Dan jawabku: “ Ini aku datang, Ya Tuhan… Memenuhi panggilan-Mu…”

Tulisan ini dibuat sebagai ucapan syukur dan rangkaian terima kasih tak terhingga yang tulus dari lubuk hatiku, karena kesetiaan-Mu, penyelenggaraan-Mu, dan seluruh kebaikan-Mu dalam hidupku, Yesusku…

HCMC, 25 Oktober 2011

-fon-

Wednesday, October 26, 2011

More Than Just a Feeling



God, today I feel so great!

Hari ini kumulai dengan senyum ceria. Cuaca pun seolah bersahabat. Matahari bersinar cerah. Angin berhembus perlahan. Tidak panas, juga tidak dingin. Pokoknya asyik betul hari ini!

Kulihat senyuman-Mu di setiap detik yang berjalan, setiap detak jantungku pun memuji dan memuliakan nama-Mu. Sungguh, aku bahagia! Engkau sungguh baik Tuhan.

Tak lama, angin berhembus makin kencang. Awan jadi gelap. Dan hujan turun seketika. Mula-mula gerimis, tambah lama tambah deras. Hujan lebat masih membuatku bersyukur. Engkau tidak berubah, selalu baik, Tuhan. Dalam segala musim di hidupku, dalam setiap cuacanya, Kau tetap baik adanya!

Hujan, halilintar, petir, geledek, sambar- menyambar. Banjir sudah mulai terjadi di beberapa titik. Aku mulai kuatir, Tuhan. Apa Kau sungguh baik? Kupeluk bantal gulingku dan kuucapkan doa seadanya. Kesenangan yang melanda seharian meluap begitu saja.

***

Keesokan harinya, aku tak bisa ke mana-mana. Segala aktivitas tertunda, karena hujan yang melanda semalaman. Kini sudah mulai mereda, tapi menjebakku hanya tinggal di rumah. Aku gelisah. Resah. Sedikit marah-marah.

“ Duh, Tuhan. Mengapa ini semua harus terjadi? Mengapa Engkau tega, Tuhan?”

*sisi lain hatiku sepintas berbisik: tak usah ‘overreacted’, sampai bilang Tuhan tega segala. Bukankah semuanya masih baik-baik saja???*

Seperti cuaca yang berganti semudah menjentikkan jari, begitu juga perasaanku. Senang yang kunikmati di pagi hari, bisa berubah menjadi kekuatiran campur kemarahan. Hanya dalam hitungan jam. Tak jarang, sukacita yang ada pada banyak peristiwa, berubah menjadi duka hanya dalam hitungan detik atau menit saja.

Begitulah perasaan kita- manusia- terhadap Tuhan. Ketika banyak kesenangan yang kita terima, kita mengucap syukur sebentar (atau malah lupa?), lalu pergi bersenang-senang dan tak jarang melupakan-Nya begitu saja. Kali lainnya, ketika masalah berat menimpa, barulah kita mencari-Nya.

God is more than just a feeling…

Kuakui di masa awal pengenalanku akan Dia, perasaan timbul dan tenggelam, ia bermain cukup kencang. Saat bahagia ataupun duka yang datang silih berganti, membuatku begitu mudah merasa senang atau kesal dengan diriku, tak jarang dengan-Nya juga begitu.

Tetapi makin lama kujalani kehidupanku bersama-Nya, kutemukan banyak pengertian baru. Bahwa apa pun yang terjadi dalam hidupku, Dia tetap baik. Tidak berubah sedetik pun. Versi baik dan tidak baik itu seringnya dari sisiku, bukan berarti buruk pula dalam rencana-Nya. Seringkali yang kukira baik, malah bukan yang terbaik bagiku. Dan kejadian yang kukira tidak baik, malah jadi pelajaran berharga yang diberikan-Nya padaku dan diubahkannya menjadi sesuatu yang penting bahkan gemilang bagi hidupku.

Dalam setiap babak hidupku, kupercaya: Tuhan sungguh baik adanya. Bahkan lebih dari itu, Dialah sahabat setiaku. Tak pernah Dia lepas tangan. Tak pernah Dia tinggalkanku. Dia lebih dari sekadar perasaan. Perasaanku pernah membawaku merasa Dia jauh atau dekat. Tetapi dalam iman, kutahu Dia tak pernah pergi dari hidupku. Selamanya Dia selalu sertaku.

God, You’re more than just a feeling for me…

Because You’re God. You’re so good and kind, Oh Lord.

I thank You for the first time You’ve entered my life. Made a difference. And You’ve been a very faithful God who always stick with me through the thick or thin of my life.

I want to tell you, Jesus… That I love You more and more each day.

Bukan hanya melalui hal-hal yang menggembirakan dan menyukakan yang sudah Kauanugerahkan bagiku…
Tetapi juga untuk hari-hari yang tidak mengenakkan, mengkhawatirkan, membawa kecemasan, karena kutahu Kau selalu ada bagiku. Dan bersama-Mu, kita sanggup lewati itu semua. Ya, hanya bersama-Mu! :)

Kutahu, kuharus kendalikan perasaanku. Karena apa jadinya jika ia berkuasa atasku? Dia jadi tuanku? Sehingga aku harus ikuti apa maunya selalu?

Let me say it one more time: God, I Love You. I thank You for Your love for me. The unconditional one that accepts me for who I am.

Biarlah hidupku memuliakan-Mu. Amin.

18 October 2011

From Ho Chi Minh City with love…

Your daughter,

Fonny

Sunday, October 23, 2011

Genggam Tanganku



Wanita itu sudah bukan anak kecil lagi. Bahkan, dia mungkin salah satu penghuni tertua di Panti Asuhan Anak yang cacat fisik dan kelainan mental ini. Umurnya di atas 20 tahun. Dia terus memandangi kami, ketika kami melangkah masuk pagar depan. Dia terus mengikuti kami dan tak lama dia merangkulku. Seolah begitu erat, tak mau melepaskanku. Aku sendiri bingung campur sedikit cemas, tetapi juga kasihan. Jadi, kubiarkan saja sementara dia terus menatapku.

Tak lama, kami pun diberi semacam gelang rosario, hasil karya mereka. Dia langsung memasangkannya di tanganku. Begitu bahagia mereka menyambut kedatangan kami yang hanya sebentar saja ini.

Memang di sebelah Panti Asuhan ini, ada sekolah untuk anak-anak yang normal. Mungkin-ini hanya dugaanku- mereka sering melihat anak-anak itu dijemput orang tuanya. Sehingga mereka pun memiliki kerinduan untuk dikunjungi dan begitu bahagia menyambut kami yang datang ke sana. Kami diterima dengan sambutan yang luar biasa: rangkulan juga pemberian gelang, tanda mereka memang butuh kasih dan perhatian dari sesama.

Saat dia genggam tanganku, beribu rasa jadi satu. Tak ada kata yang tepat ‘tuk menggambarkan semua itu. Batinku terus menyerukan sesuatu: sudahkah aku memberi perhatian pada sesamaku? Keluargaku, anak-anakku, teman-teman yang singgah dalam hidupku? Dan juga bagi mereka yang butuh perhatian: kesepian, sakit, putus asa, hilang harapan akan kehidupan? Dan bagi mereka yang ‘spesial’ karena mereka berbeda- mereka yang tak lengkap panca indera atau mereka yang mentalnya tidak bertumbuh secara normal, seperti yang kutemui hari ini….Ya, mereka juga butuh kasih dan sayang. Mereka butuh cinta kasih yang selama ini mungkin jauh dari mereka, yang seolah sering menyembunyikan diri hanya karena mereka berbeda. Padahal mereka juga butuh cinta dan bukan salah mereka jika mereka tidak normal seperti manusia pada umumnya. Mereka yang bahkan mungkin ditolak keluarganya, mereka yang mungkin dibuang ayah-ibunya. Mereka yang tak punya pilihan lain selain menerima keadaannya… Tuhan, kasihanilah mereka.

Tak terasa, air mataku menitik saat aku harus pulang. Aku mungkin bukan orang yang luar biasa sempurna dalam hal mengasihi sesama. Masih jauh dari itu. Tetapi, biarlah setiap hariku yang Kauanugerahkan bagiku merupakan hari yang lebih baik dalam membagikan kasih kepada sesama. Terutama mereka yang menderita dan butuh perhatian kita. Dunia ini tengah lapar. Lapar secara fisik di mana banyak yang tidak bisa makan karena perekonomian yang sulit, tetapi juga lapar akan kasih karena tak jarang di keluarga yang kaya-raya dengan uang berlimpah, cinta seolah sudah menguap entah ke mana…Uang tak bisa membeli semuanya. Tanpa uang memang hidup tak mudah, tetapi jika hanya mengandalkan uang saja, bahagia pun seolah sembunyi belaka…

Hari ini, kuberdoa khusus bagi mereka yang merasa kesepian dan terluka. Bagi mereka yang tersisih dan terlupa.

Bagi mereka yang putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya…

Tuhan, kasihanilah…

Masih ada harapan di dalam Dia…

Kupercaya akan itu, Tuhan…

Semoga semakin banyak hati yang mau terbuka terhadap kasih-Mu,

sehingga mampu berbagi kepada mereka yang kekurangan cinta…

Genggam tanganku, Oh Tuhan, dan jangan lepaskan…

Semoga dalam penyertaan-Mu, diriku Kaumampukan

Untuk menggenggam lebih banyak tangan

Dalam kasih dan kedamaian…

HCMC, 23 Oct., 11

-fon-

*tergerak untuk menuliskan sharing seorang sahabat ketika berkunjung ke sebuah panti asuhan di daerah Dong Nai-Vietnam.

Wednesday, October 19, 2011

Yue Yue dan Orang Samaria yang Baik



Dunia tengah meradang dan dapat dikatakan dalam status emosi tinggi saat ini, kala memperhatikan kasus yang terjadi baru-baru ini di negeri Cina. Adalah Wang Yue-yang kerap dipanggil Yue Yue- seorang bocah kecil berusia dua tahun yang tengah menjadi sorotan. Begitu kasihan, dia mengalami tabrak lari, dilindas sebuah mobil van di sebuah jalan sempit. Sesudah menabrak gadis mungil itu, malah van tersebut melindasnya sekali lagi. Tidak berhenti sampai di situ, orang-orang bukannya menolong, malah menonton. Melihat sebentar, seolah tak peduli, lalu melenggang begitu saja, meninggalkan Yue Yue yang sekarat dan tak berdaya. Dan yang lebih pedih lagi, Yue Yue sempat dilindas mobil lainnya sekali lagi. Akhirnya, ada seorang perempuan yang merupakan orang ke-19 yang lewat, yang menolong Yue Yue dan membawanya ke tepi. Ibu Yue Yue menemukannya lalu membawa Yue Yue ke rumah sakit. Saat saya menuliskan hal ini, Yue Yue kabarnya masih koma di RS tetapi mulai terlihat detak jantung dan tekanan darah yang stabil, meski dengan alat bantu pernafasan.

Banyak kecaman yang dikeluarkan bahkan oleh penduduk Cina sendiri. Bahwa seolah bangsanya sudah menjadi bangsa yang ‘dingin’, cuek, acuh tak acuh, dan tak lagi peduli akan sesama. Bangsa yang mungkin maju secara ekonomi, tetapi hancur dalam kemanusiaan dan moralitas. Banyak keluhan senada diungkap di seluruh dunia karena publikasi berita ini. Terlepas dari sistem atau hukum yang berlaku di Cina, banyak orang memilih tidak menolong mereka yang tertimpa kesusahan, karena beberapa kasus malah memaksa Si Penolong untuk membayar denda. Tindakan baik yang tidak mendapatkan apresiasi, malah mendapat denda, berujung pada pilihan sikap yang cuek saja, tokh bukan urusan gua! Tetapi, banyak komentar pula dari berbagai situs bahwa kalau memang mau menolong, pasti ada jalan. Mungkin dengan memblokir jalan yang bersangkutan sambil menelpon polisi atau melakukan hal lainnya. Masalahnya terletak di hati nurani: mau atau tidak menolongnya?

Saya tidak akan membahasa sistem dan hukum di Cina karena itu tentunya di luar jangkauan saya untuk mengubahnya. Tetapi, saya kira, pintu nurani kita hendaknya terketuk bila mendengar hal-hal semacam ini. Kita bicara tentang nyawa. Nyawa seorang anak yang dicuekkan apa pun alasannya. Dan sopir yang menabrak juga mendapat banyak caci-maki, karena menelpon orang tua Yue Yue dan berusaha membujuk mereka untuk menerima kompensasi agar dirinya aman. Serta alasan Sang Sopir melindas Yue Yue dua kali adalah: kompensasi yang dia bayarkan akan lebih rendah bila anak itu mati daripada anak itu hidup. Astaga! Jika uang yang jadi ukuran dan lantas mengabaikan keselamatan manusia, alangkah menyedihkannya dunia ini! Ya, Tuhan, kasihanilah…

Mengamati kasus ini, teringat bahwa media sering menyebutkan perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik. Di Kitab Suci, teksnya adalah sebagai berikut:

Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" (Lukas 10:25-37)

Dari apa yang tertulis di Kitab Suci, terlihat bahwa orang yang terluka itu tidak ditolong oleh Imam ataupun Lewi yang hanya melewatinya begitu saja. Malah seseorang yang tidak diharapkannya akan menolong, malah menjadi Si Penyelamat dalam kasus ini. Orang Samarialah yang menolongnya. Mungkin perlu kita lihat sedikit latar belakang Kitab Suci perikop tersebut sebagai berikut:

Kemungkinan Yesus mengajar dengan perumpamaan dengan maksud mengoreksi kebiasaan kesalehan yang palsu yang dilakukan oleh orang- orang pada jaman itu. Menurut hukum Taurat, persentuhan dengan jenazah menjadikan seseorang najis secara hukum, sehingga perlu menjalani ritual pemurnian (lih. Bil 19:11-22, Im 21:1-4, 11-12). Hukum- hukum ini bukan dimaksudkan untuk mencegah orang- orang menolong orang yang terluka; tetapi hukum itu ditujukan untuk alasan kesehatan dan penghormatan kepada orang mati. Penyimpangan para imam dan orang Lewi pada perumpamaan ini adalah, mereka yang tidak tahu apakah orang yang dirampok itu sudah mati atau belum, sengaja memilih untuk menerapkan interpretasi yang keliru terhadap hukum ritual -yang merupakan hukum yang sekunder- dan malah mengabaikan hukum yang lebih utama, yaitu mengasihi sesama dan memberikan bantuan yang diperlukannya. (Navarre Bible, St. Luke)

Sekarang, mari kita berandai-andai…

Terlepas dari bagaimana sikap ke-18 orang yang tidak memedulikan Yue Yue, akankah kita bersikap sama seperti mereka, atau akankah kita menolong Yue Yue? Tak jarang, di saat semua serba mendidih seperti saat ini, orang-orang dengan mudahnya menuding ke-18 orang tersebut. Tetapi, jangan-jangan, jika itu terjadi di depan mata kita, akankah kita berlaku sama seperti mereka? Yesus sudah memberikan perumpamaan yang mengutamakan kasih lebih dari peraturan. Kasih, pertolongan kepada mereka yang memerlukan bantuan, nyawa manusia, adalah lebih penting dari hukum yang menyatakan bahwa menyentuh orang yang terluka atau jenazah adalah najis (berdasarkan penjelasan Navarre Bible).

Teladan Kristus, Sang Orang Samaria yang baik hati, harus menjadi inspirasi bagi sikap orang beriman, mendorongnya untuk “dekat” kepada saudara dan saudarinya yang menderita, melalui penghormatan, pengertian, penerimaan, kelemahlembutan, belas kasihan dan kesediaan tanpa pamrih. Adalah masalah memerangi ketidakpedulian yang membuat tiap-tiap orang dan kelompok dengan egonya menarik diri ke dalam diri mereka sendiri. Sampai akhir, “keluarga, sekolah dan institusi- institusi pendidikan harus, jika untuk alasan-alasan kemanusiaan, bekerja keras demi membangunkan kembali dan menyempurnakan rasa peduli terhadap sesama dan penderitaannya.”.(Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Christifideles laici, Salvifici doloris, seperti dikutip dalam khotbahnya di peringatan ke delapan World Day of the Sick, di Roma 11 Februari 2000.)

Membaca tulisan Paus Yohanes Paulus II, mau tidak mau, membawa saya berpikir bahwa memang untuk memanusiakan kembali manusia, perlu kerja keras untuk memerangi ketidakpedulian dan egoisme kita. Keluarga, sekolah, dan insitusi pendidikan harus bekerja keras demi membangunkan kembali dan menyempurnakan rasa peduli terhadap sesama yang menderita. Sesuatu yang mungkin terlupa dilindas materialisme zaman. Terlalu sering pendidikan (termasuk dari para orangtua) diarahkan kepada orang-orang yang berhasil secara karier, memiliki nilai yang bagus, pintar di sekolah, hebat di pekerjaan, punya uang yang banyak, kaya-raya, tetapi lupa mendidik anak-anak untuk peduli terhadap sesama, memiliki hati nurani yang bersih sehingga tak mudah larut oleh godaan zaman. Memiliki kasih, memiliki iman dan harapan, juga kecerdasan spiritual di samping cerdas pula secara intelektual dan emosional.

Saya menangis untuk Yue Yue, untuk ketidakpedulian manusia di Cina akan dirinya, sekaligus potret yang gamblang bahwa inilah yang terjadi di masyarakat dunia sekarang. Termasuk mungkin di negara-negara lain dengan skala yang lebih ringan. Saat egoisme yang jadi juara, mementingkan diri sendiri yang utama, masihkah ada secercah cinta bagi sesama?

Kupandangi kedua permata hatiku, anugerah dari Sang Pencipta yang tak ternilai itu dan kuucapkan doa: semoga aku bisa mendidik mereka dengan baik. Di dalam akhlak dan budi pekerti, serta iman dalam Tuhan, bukan hanya pintar cari uang atau pintar sekolah saja.

Juga kumohonkan agar diriku dan semakin banyak sesamaku yang semakin mampu menebarkan cinta-Mu, ya Tuhan. Dunia ini indah jika kita bisa berbagi, bukan dengan inginnya menang sendiri atau cari selamat sendiri. Semoga kasih-Mu selalu mengetuk hati kami dan memampukan kami membuat prioritas. Bahwa kemanusiaan dan manusia itu sendiri, jauh lebih penting daripada materialisme, egoisme, dan cari selamat sendiri.

Doaku agar Yue Yue dan keluarganya diberi kekuatan menjalani ini semua. Sekiranya kesembuhan Yue Yue adalah sesuai dengan kehendak-Mu, Tuhan, semoga bisa terjadi dengan campur tangan-Mu. Dan bagi kami semua, semoga kasus Yue Yue menjadi pembelajaran berharga bahwa memang kami ini sering lupa akan orang lain, self-centered dan mau jadi yang utama, tetapi biarlah hari lepas hari, kami belajar untuk lebih peduli. Untuk lebih mengasihi. Untuk membagikan kasih-Mu yang sudah kami rasakan kepada dunia yang penuh luka ini. Karena Engkau sendiri sudah begitu baik dan penuh cinta pada kami.

Ho Chi Minh City, 20 Oktober 2011

-fonnyjodikin-

*tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber.

Monday, October 17, 2011

Salah


Tidak ada orang yang suka dibilang salah. Tak jarang, banyak orang berusaha mencari-cari alasan untuk pembenaran diri jika dia bersalah. Seolah sah, tetapi salah tetaplah salah.

Tidak ada orang yang suka mengingat-ingat atau diingatkan tentang kesalahan yang telah dia perbuat. Walaupun mungkin dia mengakui dengan rendah hati akan kesalahannya, tetapi bila rasa bersalah itu datang lagi dan merongrongnya, tak jarang ia malah kehilangan sukacita itu sendiri.

Tidak ada orang yang luput dari kesalahan. Sebaik-baiknya seseorang, pastilah pernah melakukan suatu hal yang ‘salah’. Tetapi, kesalahan bukanlah akhir dunia. Banyak kali, kesalahan yang dianggap fatal oleh manusia, malah menjadi sebuah pintu menuju suatu kesempatan baru yang disediakan oleh-Nya.

Amatlah mudah menuding orang lain, “ Tuh, dia yang salah!” Dengan emosi yang membabi-buta, membuat kita sendiri lupa, kalau kita sendiri yang dituding, apa kita akan suka?

Mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sukar melihat kesalahan sendiri? Ingatlah akan peribahasa: Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak . Tidak selalu mudah, tetapi hendaknya kita berusaha melihat sisi baik dari setiap orang yang pastinya juga dimilikinya. Juga tak lupa melakukan introspeksi diri atas kesalahan yang sudah pernah kita perbuat.

Salah adalah manusiawi. Tetapi, bukanlah berarti boleh ‘melegalkan’ kesalahan itu sendiri. Salah, untuk kemudian belajar bangkit dari kesalahan dan mengampuni diri sendiri serta orang lain yang menyakiti, adalah hal yang baik yang memampukan kita berdiri tegar. Hari ini adalah rangkaian sekumpulan tindakan yang sudah kita ambil di masa lalu-yang benar maupun yang salah- dan mencari pembelajaran di dalamnya.

Bila rasa bersalah terlalu menderamu, bawalah itu semua kepada-Nya. Mohonkan ampunan Yang Kuasa bagi dirimu atas kesalahan yang telah kauperbuat. Tiada kesalahan yang terlalu besar atau fatal yang tak bisa diampuni-Nya. Jangan membebani diri terlalu berat atau jadi putus asa. Masih ada hari esok dan kesempatan untuk melakukan yang lebih baik dari hari ini.

Jika orang yang bersalah kepadamu begitu menyakitimu. Bukakan pintu maafmu kepadanya. Mungkin langkah pertama akan sangat sulit karena tak pernah mudah membuka luka lama, tetapi hadirkan kasih-Nya sehingga diri kita merasakan cinta-Nya sepenuh-penuhnya. Untuk kemudian mampu perlahan-lahan mengampuni orang yang begitu melukai hati kita.

Andaikata seseorang itu termasuk orang yang tak pernah mengaku salah. Merasa diri selalu benar. Ada baiknya untuk belajar rendah hati. Tiada orang yang sempurna. Hanya Tuhanlah yang sempurna.

Dan pada akhirnya, biarlah semua kesalahan yang pernah kita perbuat, kita bawa kepada-Nya. Mohon ampun kepada Tuhan, minta maaf kepada sesama yang pernah kita sakiti hatinya, juga mengampuni diri sendiri bila rasa bersalah begitu mendera. Salah bukanlah akhir segalanya. Salah, untuk kemudian berbalik ke jalan yang benar, akan membawa bahagia.

Akhir kata, maafkan saya kalau ada salah-salah kata:)

Salam!

Ho Chi Minh City, 18 Oktober 2011

-fonnyjodikin-

Sunday, October 2, 2011

Mendua



*** sebuah cerpen

Mari bercerita tentang kegetiran yang ada di rasa, di jiwa.

Suamiku baru saja melakukan pengkhianatan. Mengatas-namakan kesepian, dia cari lagi seorang perempuan. Ironisnya, saat aku mulai bekerja kembali -banting tulang untuk bantu keluarga- saat itulah baginya merupakan celah. Apa pun alasannya, sulit bagiku untuk menerima.

Memuakkan. Menyakitkan. Kenyataan itu begitu memilukan.

Mengapa sampai hati kaulakukan?

Tak tahukah kau, kau hujam dadaku berkali-kali dan aku kesakitan?

Akibat dirimu berpaling dari kesetiaan?

Haruskah kusalahkan keadaan?

Atau selama ini kau memang hanya cari-cari alasan?
Haruskah kupilih pisah?
Sementara kulihat buah hati kita yang masih begitu belia.

Baru dua tahun saja umurnya.

Ah, aku tak tega, membuatnya kehilangan figur seorang ayah.

Itu konsekuensinya kalau aku memilih meninggalkanmu.

Akhirnya, kutelan pahitku sendirian.

Tak berani kubicara pada ibuku kalau hanya ciptakan kesedihan baginya.

Duka menaungi hari-hariku.

Senyumku pun bernada pilu. Tak bisa ia kusembunyikan dari wajahku.

Apalagi setelah kutahu, WIL (Wanita Idaman Lain)-nya suamiku lebih segala-galanya dariku. Lebih cantik, lebih putih, lebih tinggi, dan lebih muda. Dan yang lebih membuatku tersedak mendadak: di rahimnya sedang tertanam benih suamiku. Astaga!!!

Inginku teriak.

Tapi aku tak kuasa. Hanya dalam hati, aku teriak sekencang-kencangnya. Tak pernah kubayangkan akan berbagi suami. Kami melewati masa berpacaran yang menyenangkan. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Kami memang menikah muda. Usiaku baru 23 kala itu, dan suamiku-Don- berusia 26 tahun. Dan kami saling cinta, jadi masih mau tunggu apa? Hatiku begitu berbunga-bunga ketika dia melamarku. Kuanggukkan kepala kuat-kuat tanda setuju. Bahagia langsung memenuhi hidupku.

Tetapi, itu masa lalu.

Kini, yang ada hanyalah kelelahan seusai kerja dan kondisi rumah yang tak lagi ramah. Kami saling diam, kalau tidak saling caci. Anak kami kebingungan melihat kami. Dia terpaksa kutitipkan pada ibuku ketika kubekerja. Suamiku memang usaha sendiri, jual-beli barang-barang apa saja yang dibutuhkan sebuah kantor, jadi dia punya banyak waktu sementara aku pergi cari uang buat bantu-bantu keluarga. Dia pun setuju ketika itu, kapan pun aku mau mulai kerja, silakan saja katanya. Tetapi, dia ingkar akan janji setianya. Dia lupakan begitu saja. Di siang hari saat aku bekerja, dia mencari cinta lainnya.

Kata sahabat-sahabat wanitaku- Vina, Jenny, dan Kiky, tampar saja perempuan tak tahu diri itu. Tetapi, entah mengapa, aku tak bisa. Ketika kutemui dia, aku hanya bisa berkata.

“ Sejujurnya, aku kasihan padamu. Kamu begitu muda dan cantik, apa kamu tidak bisa cari suami yang lebih baik dari suamiku ini?” Kukatakan itu dengan tatapan menghujam ke arahnya, dengan nada sesinis-sinisnya. Dan dia hanya bisa menangis, tanpa banyak berkata-kata.

Kejadian ini baru dua minggu yang lalu kuketahui.

Jadi, sulit bagiku berpikir jernih. Untunglah sahabat-sahabat wanitaku, juga kakak perempuanku terus memberikan kekuatan padaku. Kalau tidak, aku sendiri takut pikiranku jadi kacau. Aku juga tak berani terlalu lama sendiri, aku takut ada keinginan untuk bunuh diri yang pernah juga muncul sesekali. Tetapi, selalu dia kutepis, karena aku harus hidup demi puteri kami. Walaupun papanya sudah begitu menyebalkan dan menyakiti hati kami, aku memilih tinggal demi puteri kami. Suamiku kadang pulang, kadang tidak. Saat dia tidak pulang itulah, kutahu pasti, dia sedang berada dengan perempuan itu.

Di saat seperti ini, aku hanya bisa berdoa. Memohon kekuatan dari-Nya. Berharap suatu saat suamiku akan berubah menjadi baik kembali. Seperti sedia kala? Ah, itu hanyalah anganku semata yang rasanya sia-sia. Tetapi, rasanya berdoa tak pernah salah. Hari-hari begitu sulit kujalani. Terpikir ingin berhenti kerja, tetapi tak tega pada bos yang sudah memberikan kepercayaan padaku. Dan kalau aku tidak kerja, apa aku tidak lebih gila memikirkan semuanya itu karena punya lebih banyak waktu???

Kuatkan hatimu, Lanny. Kutepuk pundakku sendiri. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua belah pipiku, aku mencoba bangkit dari mimpi buruk ini.

***

Sudah dua belas tahun berlalu dari kejadian itu.

Anak kami, Tifanny, sudah berumur 14 tahun. Dia tumbuh menjadi ABG yang manis, ramah, dan tahu diri. Mungkin karena keadaan kami berbeda dengan keluarga lainnya, dia terbentuk jadi mandiri. Aku masih bekerja, tak kusangka pekerjaan itulah yang menyelamatkan aku dan Tifa. Karena kalau aku tak kerja, mana bisa Tifa sekolah? Suamiku, Don, sudah delapan tahun pergi dari hidup kami. Dia memilih tinggal bersama maduku yang bernama Angela (tidak sesuai betul, ya… Seseorang yang memiliki nama yang berarti malaikat malahan jadi penghancur rumah tanggaku?). Mereka pindah ke luar kota.

Hidupku baik-baik saja.

Ada beberapa pria iseng mencoba mendekat. Siapa tahu, janda ini mau coba-coba? Ah, bagiku, tak ada istilah coba-coba. Untuk hal-hal yang menyangkut hati, aku tak pernah coba-coba. Nanti keterusan dan aku tak bisa lari, jadi kupilih dinding tebal pembatas antara aku dan kaum lelaki. Biarkan aku sendiri dan membesarkan Tifa saja. Itu saja keinginanku.

Hanya kekuatan dari Tuhan yang membuatku tetap kuat berjalan.

Walaupun aku pernah jatuh tapi tangan-Nya menopangku sehingga aku tak sampai tergeletak. Aku tak pernah henti berdoa. Terus mensyukuri hal-hal lainnya, di luar Don yang mendua, dalam hidupku. Tifa yang sehat dan pintar, pekerjaan yang semakin membaik. Kini aku jadi manajer di kantorku.

***

Hari Natal 2010. Pagi yang indah dan damai.

Aku dan Tifa misa bersama di pagi yang cerah. Hati kami begitu damai dan bahagia. Melangkah kami perlahan pulang ke rumah, setelah selesai makan siang bersama di restoran kesukaan kami berdua- makanan Italia. Tifa makan spaghetti carbonara kesukaannya, sementara aku makan lasagna.

Untuk minuman, kami berdua memilih Italian Soda dengan flavour yang berbeda. Aku suka yang lebih manis: strawberry, Tifa suka yang asam-segar: kiwi.

Di depan rumah, Don menunggu kami. Entah apa maunya kali ini. Setelah bertahun-tahun tak ada kabar berita, kini dia datang lagi. Kutenangkan hatiku yang selama ini sudah terlanjur membeku. Tetapi, kuakui, aku masih menyimpan rasa itu. Don adalah cinta pertamaku.

Tifa masih ingat Papanya. Walaupun begitu kaku, dia masih bisa ucapkan:

Selamat Natal, Pa.

Don mengusap kepalanya dengan lembut seraya mencium keningnya.

“ Selamat Natal, juga, Sayang.”

Don tersenyum dan terlihat ketampanannya yang masih begitu menonjol di usianya yang sudah kepala empat itu. Hatiku berdesir, tetapi kutahan, sehingga suaraku tak jadi gemetar. Kuteguhkan hatiku dan kusalami dia, orang yang sudah begitu menyakitiku:

“ Selamat Natal, Don.”

Dia menarik tanganku dan memelukku. Aku terdiam. Terpaku. Kehabisan kata-kata. Tak kupungkiri, aku memang masih cinta.

“ Lan, aku mohon maaf padamu. Aku sungguh lelaki yang paling jahat di muka bumi ini. Telah melukai orang yang begitu mencintaiku.” Katanya lembut.

Aku menangis. Tak mampu kubendung lagi air mataku. Aku memaafkannya. Walau aku tahu, cinta kami tak pernah lagi akan sama.

Dalam kondisi tersedu, aku bertanya padanya:

“ Kenapa kamu ke sini? Mana Angela dan anak kalian?”

Dia terdiam. Tak lama, bibirnya meluncurkan sebuah jawaban yang tak pernah kusangka-sangka:

“ Angela sudah pergi dari hidupku. Tahun ini baru kutahu, anak itu bukanlah anakku. Dia hanya cari kambing hitam untuk dijadikan perisai bagi dirinya, agar dia tidak lagi malu. Aldi, anak dari pacarnya sebelum aku.”

Aku takjub. Tak lagi mampu berbicara. Kututup kedua mulutku. Aku shock dengan pengakuannya ini.

“ Selama ini aku telah tertipu. Dan aku pun keliru, karena aku mau diriku sendiri terjebak dalam tipuan itu. Bahkan aku sempat menikmatinya. Angela memang cantik, tetapi dia tidak jujur. Bukan hanya itu, dia pun sering selingkuh di belakangku. Dan kini, aku tahu, betapa sakitnya hatimu ketika dulu kulakukan hal itu terhadapmu.”

“ Lan, aku memang manusia berdosa. Dosaku begitu besar padamu dan Tifa. Apa mmmm…. Apa masih ada kesempatan bagi kita untuk memulai kembali lembaran baru?”

Aku diam lagi. Aku tak tahu, apakah ini jawaban atas doa-doaku. Selama ini, aku berdoa untuk dikuatkan dalam menghadapi semua pencobaan di hidupku. Aku juga memohon, kalau suatu saat ada kemungkinan bagi kami untuk bersatu, biar Tuhan buka jalan bagi Don dan diriku. Inikah saat yang tepat bagi-Mu?

Aku tak bisa langsung mengangguk setuju. Walaupun amat ingin kulakukan itu. Aku hanya bilang pada Don:

“ Mungkin masih ada kesempatan, tapi aku masih belum tahu apa aku bisa kembali seperti dulu.”

Don tidak kecewa dengan jawabanku. Setelah pergi delapan tahun dari aku dan Tifa, tentunya tidak semudah itu kubuka lagi pintu hatiku.

Dan kami memilih memulai kembali sebagai sepasang kekasih. Seperti dulu, kala pertama kali kami bertemu. Kami mulai lagi berkencan. Juga pergi dengan Tifa anak kami. Nonton bioskop bersama, olahraga bersama, juga jalan-jalan ke Bandung bersama.

Perlahan, kebekuan pun mencair. Berganti sinar mentari yang menyinari dengan indahnya rumah tangga kami. Kami tak pernah cerai dan Don masih suamiku yang sah. Walaupun dia sudah pernah begitu mengecewakan aku dan sangat menyakiti hatiku, tetapi aku memilih memaafkannya. Menerima dirinya sekali lagi dalam hidupku. Tifa pun terlihat lebih ceria dan bahagia. Dia juga butuh figur seorang Papa. Yang dulu coba kupertahankan walaupun sakit hati, tetapi Don sendiri yang pergi dari kami. Kini Don kembali. Benang cinta yang sempat terputus, kini kami rajut kembali.

Ada keindahan dalam kesabaran. Sabar menanggung yang menyakitkan, sabar menanti rencana-Nya terwujud dalam kehidupan kami. Dan pada akhirnya, kami nikmati kedamaian dalam hidup kami. Hal yang tak pernah henti kudoakan, walaupun seolah sia-sia di waktu lalu. Aku juga sadar, di masa depan, badai mungkin bahkan hampir pasti akan datang lagi, tetapi akan kami hadapi bersama. Aku, Don, dan Tifa. Serta dengan tuntunan tangan Tuhan yang senantiasa setia pada setiap umat-Nya.

Kami serumah lagi. Suamiku yang hilang, mendua, kembali setia. Seperti mimpi saja. Kucubit tanganku sendiri, sakit! Ini realita yang sungguh indah!

Ho Chi Minh City, 8 September 2011

@ copyright Fonny Jodikin