Saturday, August 31, 2013

Hina



Pernah dipandang orang lain dengan tatapan ‘menghina’ -dari ujung rambut sampai ujung kaki- yang bikin tidak enak hati alias risih?
Hmmm, saya pernah…
Pernah pula memandang orang lain yang dianggap kurang se-level atau tidak sehebat Anda dengan pandangan mengecilkan mereka?
Jujurnya saat introspeksi diri, walaupun berusaha keras untuk mengurangi hal itu, ternyata aku pun pernah melakukannya…

Ketika orang lain menganggap kita kecil, rasa apa yang timbul?
Tak berharga. Sendirian. Kesepian.
Tak diperhitungkan. Dikucilkan.
Tak ada perhatian.
Lalu muncul tindakan pengecilan terhadap diri sendiri…
Lalu mungkin pula muncul pertanyaan dalam hati:
“ Apakah hidupku ini sungguh berarti?”
Jika tidak, untuk apa aku hidup di dunia ini…
Bercampur frustrasi, terkadang beberapa orang yang depresi …
Mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya sendiri…
Ah, haruskah setragis ini???
                                                            ***

Di dalam doaku yang kupanjatkan kepada-Mu, Tuhanku…
Suara itu masuk dan memenuhi hatiku…
“Engkau anak-Ku… Aku menerimamu apa adanya…”

Perlahan, damai itu menyelimuti hatiku…
Ah, Tuhan saja tak pernah mengganggapku hina, mengapa aku harus menganggap diriku tak berharga hanya karena segelintir orang yang tak menganggapku se-level dengan mereka?
Hidup terlalu berharga daripada mempermasalahkan orang-orang yang menganggapmu remeh dan tak berharga…

Dan…
Tak jarang, aku pun menganggap orang lain rendah dan hina.
Rasanya bahagia menemukan cacat-cela dari orang-orang di sekitar kita…
Sampai selebriti di nusantara, Asia, atau dunia…
Entah, rasanya asyik saja…

Tetapi…
Jika aku yang dihina, dicerca, dan dicela….
Betapa sakit rasanya…
Hancur hati seketika…

Teringat kembali pepatah lama…
Jangan lakukan jika itu tak menyenangkan bagi orang lain…
Karena jika itu terjadi padamu, kausendiri takkan suka…
Hmmm…
Kita tidak pernah jadi manusia hina karena Tuhan sungguh inginkan hadirnya kita di dunia…
Hidup terlalu berharga untuk mencela dan berduka
Atas keberadaan diri kita di alam semesta…

Jika perbedaan itu bisa jadi ajang hina-menghina paling juara…
Aku juga bisa memandang orang lain hina ketika mereka melakukan yang berbeda…
Ah, tapi, apa untungnya menjadi sama seperti mereka?
Mana kasih Allah yang seharusnya menuntunku senantiasa?
Biarkan kelembutan-Nya hapuskan dendam yang membara….

Tuhan, jauhkanlah aku dari penghakiman itu…
Bahwa orang lain lebih hina dariku…
Aku pun takkan suka menanggung hinaan itu…
Jika itu terjadi pada diriku…

Tuhan, aku begitu membutuhkan-Mu…
Untuk membimbingku selalu…
Siramilah hatiku dengan kasih-Mu itu…
Sehingga aku mampu
Mengasihi diriku dan sesamaku…

kan terus kutanamkan kesadaran betapa berharganya aku…
Takkan kubiarkan rasa hina membelenggu…
Dan aku pun belajar untuk tak memandang hina sesamaku…
Tuhan, kumohon pimpinan-Mu…

31.08.2013
fon@sg
*Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia,  dan Aku ini mengasihi  engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.

--- Yesaya 43:4

Saturday, August 17, 2013

Romo Yance Laka, This is For You…



Pertemanan di dunia maya yang tercipta bagiku, kupercayai atas perkenanan Yang Kuasa.
Beberapa sahabat bahkan jadi dekat, padahal tak pernah bertemu.
Tulisan ini mungkin agak aneh, kubuat bagi seseorang yang tak pernah jumpa denganku tetapi pernah beberapa kali berkontak via e-mail dan Facebook
Namun, dari situ pun kita bisa merasakan, seperti apa orang yang bersangkutan…
Pertemanan di dunia maya agaknya cukup mirip dengan pertemanan di dunia nyata…
Dan kupersembahkan tulisan ini bagi Romo Yance Laka, Pr (Romo Yohanes Senda Laka, Pr).
This is for you…

6 Agustus 2013

E-mail yang mengejutkan kuterima dari milis yang kuikuti.
Dr. Irene dari milis KBKK mengabarkan kabar duka.
Romo Yance Laka dari Atambua sudah berpulang.
Agak aneh rasanya ketika menerima berita itu.
Aku membatin, bukankah Romo Yance masih muda?
Pikiran yang datang sesudahnya, kenapa ya, sampai beliau meninggalkan dunia? Apa sakit atau apa?

Lalu kumenuju ke Facebook, sudah banyak ucapan untuk beliau di wall Facebook-nya…
Semua bernada duka, tak percaya, dan satu per satu komentar yang kubaca di sana semua sungguh menyayangkan kepergian beliau yang begitu cepat walaupun tak pernah bisa menentang kehendak Yang Kuasa.
Semua merasa begitu kehilangan dirinya.

Dengan keterkejutan yang tersisa, aku mulai membuka kembali lembaran demi lembaran surat elektronik yang menjadikan kami sahabat di dunia maya…

Pertengahan tahun 2010

Romo Yance mengawali kontaknya via e-mail dan mengomentari salah satu tulisanku yang berjudul A House Is Not A Home. Beliau menambahkan komentar yang mendalam atas apa yang sudah kutuliskan disertai undangan yang ramah untuk kapan-kapan berkunjung ke tempat beliau di Atambua untuk mengadakan semacam seminar atau ‘workshop’ seputar tulis-menulis bagi anak didik ataupun bagi yang membutuhkan di sana.

Sungguh, saat itu aku merasakan ketulusannya.
Aku sebenarnya sungguh ingin ke sana
Namun, kondisi anak yang masih balita ditambah kehamilan kedua yang sedang kujalani membuat aku sungguh tidak dapat berbuat apa-apa untuk memenuhi undangan itu.
Dalam lubuk hati, masih tersimpan keinginan itu.
Suatu saat nanti. Siapa tahu….

Kontak demi kontak berikutnya menjadikanku semakin mengerti, Romo ini sungguh seorang yang peduli.
Peduli pada siapa saja yang berkeinginan untuk maju, mencarikan jalannya, mau bersusah-payah mengontak mereka, asal keinginan baik dari anak didiknya tercapai.
Beliau mengontakku untuk mengedit kumpulan tulisan berupa puisi yang ingin dijadikan buku oleh seorang anak didiknya. Beliau sungguh ‘supportive’ dan bersedia mengontak beberapa penulis yang beliau kenal untuk mendukung niatan baik ini…
Aku pun menyetujuinya dan melakukan ‘editing’ yang dianggap perlu.
Aku merasakan beliau memang seorang yang baik dan ‘care’.

9 Agustus 2013

He is not a conglomerate, he is not a celebrity, and he is not a political figure, but 286 priests and almost 5000 people came to his funeral Mass with tears. How do you think he lived his life? 
Good bye Fr. 
Yance Laka... ( dari status seorang sahabat, Riko Ariefano).

Kita tak pernah tahu seberapa berharganya diri kita, mungkin sampai saat terakhir kita meninggalkan hidup ini.
Kita takkan tahu, bahkan tak pernah tahu…
Tetapi, oranglah yang akan menilai…
Sebagaimana gajah yang mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, demikianlah manusia pada akhir hidupnya…

Wall Facebook Romo Yance Laka berbicara banyak.
Setiap mampir ke sana selama masa-masa awal berpulangnya beliau, air mataku masih menetes.
Sungguh, beliau orang yang luar biasa.
Sebagaimana yang ditulis dan ingin beliau tuliskan di makamnya.
He’s a great priest with a big heart!

Sungguh benar seperti yang Riko tuliskan.
Romo Yance bukanlah seorang konglomerat, bukan pula seorang selebriti, dan dia bukan tokoh politik. Tetapi, yang menghadiri misa pemakamannya membludak! 286 Romo dan 5000 orang yang datang dan semua menangis.
Sungguh luar biasa teladan hidupnya bagi kita semua…
How do you think he lived his life? Tanya Riko…
And how should we live our life??? (lanjutku dalam hati…)

Jika hidup hanya sekali, bagaimanakah seharusnya kita hidup?
Apakah kita sudah hidup dan menampakkan kasih Tuhan pada orang-orang yang kita temui di sekitar kita?

Dan Romo Yance sudah menyelesaikan pertandingannya dengan hebat (I have to say…).
He has lived his life amazingly. Wonderfully. Greatly…
He’s fighting his battle of life with all his heart…

Terima kasih, Romo untuk teladan hidupmu.
Inspirasimu.
Membuatku dan setiap orang yang membaca dinding Facebook-mu…
Apalagi mereka yang sudah tersentuh sedemikan rupa karena begitu dekat denganmu, merasakan kebaikan Tuhan yang luar biasa melalui engkau…
Dan betapa hidup yang sudah pernah tersentuh kasih itu tak pernah lagi sama…
Aku bersyukur mengenalmu…

Epilog…

Hidup itu singkat.
Sementara.
Dan bagaimana kita seharusnya melangkah dalam hidup ini terkadang kita pun ragu sendiri…
Tetapi, beberapa orang bahkan menjadi inspirasi…
Bahwa hidup dan panggilan yang dijalani sepenuh hati dalam kasih Kristus akan menghasilkan buah-buah yang tak tanggung-tanggung…
Yang begitu terasa kehilangannya jika yang bersangkutan itu harus pergi.
Apalagi sampai selamanya ke Rumah Bapa…

We thank you, Fr.Yance Laka.
Terima kasih karena teladan hidupmu. Karena kebaikanmu.
Membuatku terinspirasi untuk memberikan yang terbaik dalam hidup ini…
Bukan untuk siapa-siapa…
Hanya untuk memuliakan nama Yesus semata.

You’ll surely be missed…       
But we know that life goes on…
And from above, you’re watching all of us with your great smile.

This is for you, Romo Yance…     
Seorang sahabat di dalam Kristus.
Au Revoir, Romo…
‘Till we meet again.

Singapura, di hari Merdeka, 17.08.2013

fon@sg