Wednesday, December 30, 2009

Kangen akan Komunitas…

Membaca sebuah blog yang berisikan tulisan seorang sahabat di dalam Kristus yang menceritakan tentang kebahagiaan dia berkomunitas dengan retret, kegiatan kumpul bersama, dan makan bersama komunitasnya, membangkitkan rasa kangen saya akan suatu komunitas.

Harus diakui, selama ini saya merasa kesepian. Karena ketika saya di Singapura, acara memang banyak, komunitas orang Indonesia pun banyak. Namun, karena kondisi yang baru melahirkan anak dan harus menjaganya sendiri tidak memungkinkan saya untuk ikut komunitas apa pun untuk kegiatan rohani. Jadi, boleh dikatakan selama 3 tahun terakhir yang rutin saya lakukan hanya misa di hari Minggu. Sambil sesekali berusaha hadir di Misa Jumat Pertama. Pernah, saya mencoba ikut suatu pertemuan suatu komunitas yang membutuhkan seorang penulis bagi acara mereka, tetapi saya yang akhirnya keteteran karena tak mampu mengikuti jadwal pertemuan yang padat. ‘Meeting’ tiap Minggu sekitar 3 jam bahkan lebih, sementara anak saya sudah menunggu di rumah dengan kondisi rewel mencari saya. Masih untung ada ibu mertua yang menjaganya, kalau tidak? Lebih sulit lagi. Banyak pasutri di Singapura yang tadinya aktif di pelayanan gereja, semakin kurang keaktifannya ketika mereka menikah dan punya anak. Karena biaya ‘baby sitter’ dan pembantu yang tinggi, menjadikan mereka kesulitan pula untuk meninggalkan rumah. Terkadang karena kesibukan demi kesibukan seperti tadi, kata komunitas menjadi sesuatu hal yang asing. Yang mungkin terasa mewah bagi mereka yang hidupnya sehari-hari jauh dari kumpul-kumpul bersama.

Sementara di Indonesia, saya bersyukur karena sempat setidaknya mengecap masa-masa indah bersama komunitas tempat saya bernaung. PDKK Ignatius Loyola di Jalan Malang, gereja yang tidak sepopuler Gereja Theresia di Menteng, namun memberikan rumah bagi saya untuk tinggal. Beberapa kali, saya pun menemukan komunitas tempat saya menjadi betah untuk tinggal bersama mereka untuk bersama-sama pula mengembangkan spiritualitas kami. Mulai dari tugas saya sebagai ‘Literature Ministry’ ketika bersama teman-teman di BPK KAJ ataupun ketika saya ikut serta ambil bagian dalam acara-acara KRK Rohani bersama teman-teman di band rohani pula. Menjadi bagian mereka dan bersama-sama melayani Tuhan, sungguh adalah waktu-waktu yang berharga bagi saya. Tiap momen menjadi berharga, I treasure every minute of it, karena di sanalah saya merasakan kasih Tuhan melalui teman-teman sekitar saya. Orang-orang yang sudah tersentuh kasih-Nya dan benar-benar berusaha dalam ketidaksempurnaan mereka, untuk menyalurkannya kepada sesama. Dan ketulusan itu menjalar. Menular. Menyusupi hati saya. Dan menebar kehangatan di sana!

Tiba-tiba malam hari ini, saya kangen sekali akan masa-masa itu. Masa di mana saya merasa gembira, merasa suka cita karena berkumpul bersama. Ketika tulisan ini saya buat, saya kembali harus menghadapi kesendirian dalam hidup di rantau, karena baru dua bulan di Vietnam. Namun, saya percaya bahwa waktu-Nya akan tiba bagi saya untuk mengecap kehidupan spiritual yang penuh warna dalam bentuk komunitas lagi. Karena saya mendengar beberapa keluarga Katolik Indonesia di sini secara rutin memiliki kegiatan beragam. Saat ini, karena di akhir tahun, saya belum menemukan mereka. Sembari menunggu seorang teman dari Indonesia juga yang akan tinggal satu apartemen dengan saya yang akan datang di bulan Januari, yang sudah menjanjikan pada saya untuk ikut bergabung dengan komunitas itu tadi. Semoga bisa terwujud! Sementara ini, saya hanya menanti waktu-Nya, sambil tetap menuliskan kebaikan-Nya. Sungguh, berjuang sendirian tidak pernah mudah. Namun, kembali saya diingatkan bahwa untuk segala sesuatu di kolong langit ini ada waktu-Nya. Tuhan akan memberikan ketika waktu-Nya tiba.

Dan bagian saya hanyalah setia dan percaya akan indahnya janji-Nya dalam hidup setiap manusia, termasuk saya. Doakan saya, ya :)

HCMC, 30 December 2009

-fon-

* terinspirasi blog seorang sahabat dalam Kristus. God bless you, Bro! Bener-bener kangen berkomunitas bersama nih, daku :)

Monday, December 28, 2009

Tak Kumengerti


Kemarin- Misa Minggu Sore di Saigon Notre Dame Basilica…

Kulangkahkan kaki perlahan, turun dari taksi ‘Vinasun’ yang membawaku ke gereja di sore itu. Harusnya kalau mau misa dalam Bahasa Inggris, hanya sekali saja di Hari Minggu, yaitu jam 09.30. Namun, kemarin, karena paginya agak kurang enak badan, jadi aku tidak ke Misa Bahasa Inggris. Namun di sore hari, ketika putriku sedang tidur, aku malah ingin ke gereja. Akhirnya, aku pergi ke misa pukul 17.00 di sana. Ternyata, info yang kudapat sedikit keliru, karena misa baru mulai pukul 17.15.

Ini mungkin misa ke-4 yang kuhadiri dalam Bahasa Vietnam. Awalnya sempat tertarik, lalu agak segan karena tak mengerti apa-apa, namun daripada tidak ke gereja? Mending tetap hadir walaupun tak mengerti. Dengan urutan yang seragam di Gereja Katolik mana pun di dunia, tidaklah sulit untuk menduga urutan yang mana yang tengah berjalan. ‘Saya mengaku’ atau ‘Aku percaya’ atau ‘Doa Bapa Kami’. Rasanya untuk urutan, aku tak masalah. Cuma memang di saat mereka mendaraskannya dalam Bahasa mereka, aku pun mendaraskannya dalam Bahasa Indonesia. Sama-sama, dong :) Walaupun beda bahasa.

Di saat homili, nah ini bagian yang paling membingungkan. Karena betul-betul belum mengerti. Kursus yang kujalani baru sebulan saja. Efeknya terasa ketika aku membaca nama jalan di sini dan menginformasikannya kepada pengemudi taksi, atau menawar barang ketika berbelanja, namun selebihnya? Aku masih belum mampu. Tiba-tiba aku merasa asing. Tiba-tiba aku merasa betul-betul sendirian. Dan tiba-tiba saja, aku merasa sangat tidak mengerti akan segala sesuatunya.

Sambil duduk dan tetap berusaha berdoa dalam hati, tiba-tiba aku mendapatkan pengertian baru. Seperti misa yang kuhadiri dalam Bahasa Vietnam, banyak yang tak kumengerti. Atau boleh dibilang, seluruhnya tak kumengerti. Namun satu hal, aku tahu Tuhan ada, Yesus yang setia di salib masih ada. Dan tetap bersamaku, walaupun banyak sekali yang tak kumengerti.

Dalam hidup, sering kali kita mengeluhkan dalam doa ataupun secara lisan: “ Tuhan, begitu banyak yang tak kumengerti, mengapa harus terjadi?” Ketika suatu permasalahan yang berat menimpa kita, pertanyaan spontan yang biasa timbul adalah, “ Why me, God? Kenapa saya, Tuhan? Kenapa ini terjadi padaku?”

Dan banyak kali, ketika kita bertanya hal seperti itu kepada-Nya, kita pun tak menemukan jawabannya. Kita hanya bisa berusaha tegar, menangis sedih, atau tenggelam dalam frustrasi-stres-dan depresi. Kita mendadak bingung, tiba-tiba hidup tak lagi bisa ditebak. Kita mendadak heran, mengapa hidup bisa sedemikian kejam atau tidak adil. Dalam kondisi ketidakmengertian itu, kita bisa berdoa dan menjadi semakin dekat pada-Nya. Dan kemudian menemukan jawabannya setelah beberapa waktu lamanya. “ Oh, begini ya, maksud-Mu, Tuhan… Kini baru aku mengerti…” Untuk kemudian mengalami lagi kebingungan yang lainnya dan mungkin kembali bertanya kepada-Nya, “ Mengapa ini terjadi, Tuhan?”

Pilihan kedua, kita bisa berlari semakin menjauh dari-Nya. Menghindari-Nya. Dan tidak tertutup kemungkinan memusuhi-Nya karena berpikir Dia tidak lagi berpihak kepada kita. Ternyata Tuhan yang kukira adil adalah Tuhan yang pilih kasih. Tuhan yang baik pada orang-orang tertentu saja atau baik di saat-saat tertentu saja. Padahal, benarkah demikian? Benarkah Dia berikan sinar matahari hanya kepada orang baik dan tidak kepada orang jahat? Sering kali kita berpikir tentang kerangka keadilan menurut versi kita dan bukan versi-Nya.

Semua pilihan ada di tangan kita. Namun, satu hal yang pasti, akan banyak sekali episode dalam kehidupan yang bakal membuat kita kembali berada pada fase ‘tak mengerti’ ini.

Ketika semua orang di keluarganya sudah menikah, sementara umur semakin berjalan dan kini sudah menjelang 40 tahun, seorang gadis masih sendiri saja. Atau, sudah berusaha ini dan itu, rajin bekerja, giat ikut seminar untuk pengembangan diri, tapi karier mandeg seolah berhenti di tengah jalan. Sudah ke dokter mana saja, sudah ke sin she, sudah ke Singapura, sudah habis biaya pengobatan yang kalau dihitung-hitung bisa membeli sebuah rumah, untuk memiliki seorang anak karena pernikahan sudah merayap ke angka ‘anniversary’ yang ke-10 tetapi masih belum berhasil juga. Dan banyak kasus lainnya yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Banyak kejadian, banyak hal, banyak problem, yang tak kumengerti. Yang tak selalu bisa kita cerna dalam otak kita yang terbatas ini. Sehingga kita lupa bahwa kita memiliki Tuhan yang luar biasa. Tuhan Yesus! Di dalam Dia, tak ada kata tak mungkin, bila Dia izinkan. Bila itu sesuai dengan rencana-Nya, tiada yang mustahil bagi Dia. ‘ Tom Cruise’ boleh jadi bintang ‘Mission Impossible’ di film layar lebar. Tetapi dalam film-Nya, filmnya Tuhan bagi kita, ketika Dia katakan kamu mampu, ketika Dia katakan kamu bisa, itu akan jadi ‘Mission Possible’. ‘Mission Feasible’. Karena bagi-Nya, ketika Dia izinkan, itu hanya semudah menjentikkan jari. Istilah kerennya, as easy as one-two-three. Mari kita pikirkan dan renungkan kembali, berapa banyak kejadian dalam hidup seolah kita tak bisa melewati suatu kondisi, tetapi ternyata kita berhasil bahkan melampaui apa yang kita pikirkan. Jadi, jangan pernah berhenti percaya bahwa Tuhan sanggup memampukan kita melewati itu semua. Yang kita butuhkan hanya iman.

I can do all things through Christ who strengthens me.

Di akhir tulisan ini, saya kembali mengingat-ingat seluruh kondisi kehidupan manusia pada umumnya. Banyakkk sekali perkara yang tak pernah bisa kita mengerti. Banyakkk sekali permasalahan pelik yang tengah atau nanti bakal kita hadapi. Namun, dalam ketidakmengertian itu, dalam lilitan permasalahan itu, biarkan Tuhan yang pimpin dan ambil alih. Ketika roda kemudi kita percayakan kepada-Nya dan kita tetap berusaha sekuat tenaga, saya tetap percaya Tuhan akan membukakan banyak jalan dan peluang yang tak pernah terpikirkan dalam benak kita. Ingatlah Tuhan itu tak terbatas. Sering kali, pikiran kita yang sempit dan picik inilah yang membatasi ruang gerak-Nya.

Tuhan, terima kasih untuk pengertian baru, di tengah kondisi yang tak kumengerti sekalipun. Biarlah keadaan yang tak kumengerti ini, kupercayakan kepada-Mu yang memiliki pengertian luar biasa akan hidupku. Hidup kami semua. Sebab Engkaulah Allah Maha Tahu. Amin.

HCMC, 28 Desember 2009

-fon-

* dengan ‘soundtrack’ … banyak perkara yang tak dapat kumengerti, mengapakah harus terjadi, di dalam kehidupan iniiii….:)

Wednesday, December 23, 2009

Sembuh


Sakit hatiku mungkin tak pernah ada yang tahu…

Luka dan duka setiap kita tak ada yang tahu persis…

Selain Dia…

Selain Tuhan…

Selain Yesus…

Karena hanya Dia yang tahu persis setiap detik yang kulalui…

Karena hanya Dia yang setia menemaniku setiap hari…

Bukan suamiku, bukan anakku, bukan ayah bundaku…

Karena mereka tak selalu bisa ada di sampingku…

Walaupun mereka mau…

Aku mau bangkit dari segala luka…

Aku mau dekat pada Tabib Ajaib…

Penyembuh Sejati…

Penawar segala luka…

Aku mau sembuh…

Aku mau dekat ke Sang Dokter paling handal…

Untuk urusan hati manusia…

Yesus, menjelang peringatan hari lahirmu…

Aku teringat bahwa Engkau hadir untuk menyembuhkan…

Engkau datang untuk mengisi tiap relung hati yang kesepian

Yang kekurangan cinta…

Yang butuh pengharapan…

Yang penuh derai air mata…

Hanya Engkau yang bisa gantikan itu semua

Dengan senyuman suka cita…

Aku mau sembuh…

Aku mau Yesus sembuhkanku…

Aku percaya, Yesus mampu menyembuhkan setiap kita.

Selamat ulang tahun, Dokter hatiku…

Kubisikkan pelan di telinga-Mu, selamat ulang tahun, Yesus!

HCMC, 23 December 2009

-fon-

* sekuel dari puisi berjudul ‘Sakit’ yang di-publish kemarin di blogku dan di beberapa milis. Ingat ‘sakit’, ingat pula ‘sembuh’. Bersama Yesus akan selalu ada kesembuhan baru. Sekaligus juga merupakan catatan Natal tahun 2009 ini. God bless…

Tuesday, December 22, 2009

Sakit


Sakit itu menyerang lagi…

Bukan sekali, bukan dua kali…

Sudah berkali-kali…
Puluhan, bahkan ratusan kali…

Dia sudah seperti sebilah pisau tajam

Yang membelah hati ini

Menembusinya

Dan menjadikannya berkeping-keping

Hancur berantakan…

Terkadang dia seperti sebuah film

Yang terus diputar tanpa henti

Di otakku, memenuhi seluruh isi kepalaku…

Dengan kebencian dan kesakitan…
Juga kepahitan dan dendam…

Ini sakit hati tingkat tinggi…

Kukira takkan ada obat dari Rumah Sakit mana pun yang sanggup

Untuk mengobati pedih

Dan perih yang tak terkira ini…

Kucoba berlari…

Menjauhi sakit ini…

Namun, mengapa, rasa itu bahkan semakin kuat menghampiri?

Kadang aku tak kuat…

Aku ingin pergi saja…

Jauh-jauh…

Ke ujung dunia…

Siapa tahu, tak ada sakit lagi di sana

Namun, ketika kucoba lagi menghadapinya

Muka dengan muka…

Dan berujar,

“ Hei, sakit! Aku tak mau lagi sembunyi darimu, mari kita bicara hati ke hati…

Apa yang membuatmu terus berdarah begini?”

Anehnya, setelah kucoba berhadapan dan berdialog dengannya…

Sakit itu tidak lagi menusukku

Tak lagi menggangguku…

Karena aku memilih berhenti lari dan sembunyi

Melainkan hadapi…

Akhirnya kutahu, prinsip menghadapi sakit hati…

Kembali lagi ke masa itu, bawa Tuhan ke dalamnya…

Biar Dia pegang tanganku, jangan lepaskan aku….

Dan bersama Yesus, kan kuhadapi semua di masa lalu itu…

Hei sakit, pergilah jauh!
Jangan lagi isi hatiku dengan kebencian dan kepahitan…
Karena Dia sudah gantikan semua itu dengan kasih yang baru…

Aku tak selalu bisa berlalu

Dari luka masa lalu…
Tapi bersama Yesus, aku mencoba…

Selalu diperbaharui dalam kasih…

Bila luka itu menyeruak lagi, kembali kugenggam tangan-Nya

Dan hadapi sakit itu sekali lagi, bersama Dia.

Sakit, mungkin kau pernah jadi bagian hidupku…

Tapi aku tak lagi mau didikte olehmu.

Dan biarkan aku jalani hidupku

Dengan damai Yesus yang selalu lingkupiku

HCMC, 22 December 2009

-fon-

*terinspirasi dari retret luka batin dan buku Ajahn Brahm yang kubaca ‘Opening Door of Your Heart’

Tuesday, December 15, 2009

Luka Kita Bersama


Sebagai orang yang baru dibaptis secara Katolik di tahun 2000 (ketika saya sudah dewasa), awalnya saya berharap banyak pada mereka yang sudah mengenal Tuhan Yesus. Maksud saya, mereka yang sudah berada pada tahap pewarta atau aktivis gereja, harusnya sudah memiliki sikap yang setidaknya mengarah kepada Yesus sendiri. Tentu saja, sikap Yesus yang sempurna itu sulit ditiru 100%. Mengingat kita hanya manusia biasa, penuh kelemahan. Namun saya pikir, setidaknya orang-orang yang sudah mengenal Yesus seharusnya sudah menampakkan sedikit banyak kehidupan yang berbelas kasih dan penuh cinta dari Yesus karena mereka sudah dipenuhi cinta kasih-Nya.

Mungkin saya yang kelewat idealis atau mungkin saya yang terlalu lugu di awal-awal euphoria saya akan kasih Yesus dulu? Entahlah, saya tidak tahu pasti. Namun pada kenyataannya, saya harus menelan pil pahit. Ketika awal dibaptis, saya memiliki kesempatan untuk ikut beberapa pelayanan. Di situ saya mulai melihat banyak orang yang sudah saya anggap baik atau tinggi level rohaninya, malahan mencerminkan keadaan yang berseberangan. Karena salah sedikit, langsung marah. Karena tak sesuai dengan keinginannya langsung mengumbar emosi. Ada dua kejadian yang cukup membekas di awal saya baptis. Yang pertama, di satu PD yang cukup terkemuka di Jakarta dan bukan PD yang reguler saya kunjungi. Di satu saat, ketika saya tengah kursus keyboard dengan guru saya yang sudah almarhum dan superjago dalam hal ini, PD itu tengah membutuhkan beberapa singer dadakan. Karena saya sendiri seorang singer dan ada di antara mereka, langsung didaulat untuk ‘manggung’ tanpa latihan. Karena ‘singer’ mereka kebanyakan sakit atau ikut seminar. Akhirnya saya menerima dengan tidak ada maksud apa pun kecuali membantu. Dan ternyata, di milis mereka saya ‘disidang’. Hal ini saya ketahui belakangan, karena saya membaca keseluruhan percakapan mereka yang di-‘forward’ oleh seseorang yang membawa saya ke PD tersebut. Ada seorang yang senior, yang kurang senang karena ada anak baru tak dikenal, nongol dan maju di depan podium sebagai singer. Dia mendapatkan banyak pertanyaan dari mereka yang setia datang ke PD, tapi disuruh menunggu untuk menjadi singer. Dan melihat wajah saya yang asing, sontak timbul pertanyaan dari para ‘aspiring singer’, yang sudah kepengin jadi ‘singer’ sudah lama. Dan disuruh menunggu selama dua tahun. Sementara ada anak kemaren sore tak dikenal, langsung nyanyi di depan pake ‘mic’ pula. Habislah saya. Sejujurnya saya bingung dan gelagapan. Tujuan ingin bantu, koq malah jadi runyam. Namun, peristiwa ini berakhir baik, ketika saya memutuskan untuk tidak aktif di PD tersebut dan belajar bahwa lain kali bila ingin bantu harus hati-hati. Karena tidak setiap kebiasaan PD itu sama. Jadi, kalau bukan ‘rumah’ saya, biar bagaimana pun saya harus hati-hati. Jujurnya, saya terluka. Tetapi saya menerima. Akhirnya dengan Si Senior di PD itu pun saya berdamai. Tidak ada masalah sampai sekarang. Tapi, kalau disuruh untuk jadi singer dadakan di sana, maaf, saya sudah tidak mau lagi…:) Lagian saya juga hampir tak pernah datang ke sana

Kejadian kedua malah lebih parah di hati saya, begini ceritanya…

Sesama teman di kursus alkitab yang jelas-jelas disiapkan untuk jadi pewarta (bahkan dia sudah jadi pewarta di lingkungan), hanyalah orang yang senang mengadu domba dan menyebar gosip di antara kami. Dan menjadikan saya sebagai kambing hitam saat itu. Sehingga satu kelas atau setidaknya setengah kelas memusuhi saya dan menganggap saya orang aneh. Hmmm, mungkin juga saya orang aneh, saya tak menampik hal itu:) Hal itu hampir membuat kursus yang tiga tahun itu terhenti di tengah jalan, hanya karena saya tidak kuat menjalaninya. Tetapi untungnya, Tuhan memberi rahmat pada saya untuk menyelesaikan kursus tersebut. Akhirnya saya lulus dan diwisuda! Sebetulnya, saya amat suka pelajarannya dan dosen pengajarnya, namun sedikit banyak hal tersebut mempengaruhi saya. Jujur, tidak mudah dipandang aneh oleh setengah kelas lebih dan dianggap biang kerok kejadian-kejadian di kelas.

Tapi, pada akhirnya, setelah kami lulus, malah kami berkesempatan untuk saling curhat dengan beberapa teman saya di kursus tersebut. Yang pada akhirnya mencapai kesepakatan. Bahwa Tuan XYZ yang terhormat dan berprofesi mulia, yang ikut aktif di puluhan organisasi, hanyalah seseorang yang mengganggu ketenangan kelas kami. Pada akhirnya kenyataan pula yang bicara. Dia mengadu domba banyak dari kami. Aneh, semua orang di awal percaya padanya. Dan pada akhir kursus kami, banyak orang terbuka matanya dan sadar bahwa dialah justru akar permasalahan di kelas kami. Jujurnya, hal ini menyedihkan dan menyakitkan. Saya juga tak bisa bilang bahwa saya sempurna. Oh, saya masih jauh dari itu! Tapi setidaknya, saya berusaha menahan diri untuk tidak menyebarkan isu mengenai seseorang apalagi bila itu tidak benar. Entahlah, yang jelas saya pernah amat kecewa!

Kecewa pada awam adalah hal yang biasa. Karena sesudahnya saya pernah juga kecewa dengan mereka yang aktif di organisasi gereja. Kesal, marah, tetapi kemudian menerima. Tokh mereka manusia, sama seperti saya. Dan mungkin juga, ada orang lain yang pernah kecewa dengan saya. Koq orang yang biasanya menuliskan kebaikan Tuhan, hanya segitu saja? Koq hidupnya tak mencirikan Tuhan Yesus itu sendiri? Wajar pula, karena saya terus berusaha walaupun terkadang kegagalan juga menyapa. Jadi, mungkin hal yang sama terjadi pada orang tersebut, bahwa dia pun tengah berusaha, tetapi belum mampu terlaksana…

Untungnya, sepanjang perjalanan dari tahun 2000 sampai hari ini, saya menemukan banyak awam yang merupakan sumber cinta. Mereka betul-betul memperlihatkan apa yang mereka anut bukan omong kosong. Mencerminkan kasih Yesus sendiri.Mereka penuh cinta, ringan tangan membantu yang menderita, dan penuh kasih. Mereka bisa jadi ‘ngocol’ dan ‘funky’ tapi mereka punya hati yang luar biasa untuk mengembangkan pelayanan di dunia anak muda misalnya. Untungnya, Tuhan mempertemukan saya dengan mereka. Jadi, kekecewaan tertutupi dengan suka cita. Dan berjanji pada diri, mau jadi seperti mereka yang baik bukan mereka yang ‘hancur’.

Namun, akhir-akhir ini hati saya dilanda kesedihan ekstra. Keprihatinan saya memuncak, ketika hal-hal yang sama sekali jauh dari kasih dilakukan oleh para Romo, para Pastor, yang notabene (seharusnya) wakil Tuhan atau wakil Yesus di dunia ini. Setidaknya berita berikut ini bisa mencerminkan kegalauan sekaligus keprihatinan saya:

Hundreds of Catholic priests across Ireland are expected to be implicated in alleged child abuse when the results of a nine-year investigation are published this week.

The Commission to Inquire into Child Abuse has investigated claims of abuse in state schools and orphanages since the 1940s, and will publish its report tomorrow.

A second report on how the Catholic church handled sex abuse complaints is due in July, and is expected to criticise the handling of child-abuse complaints involving up to 500 priests in Dublin between 1975 and 2004.

Thousands of children sent to institutions suffered abuse by members of religious orders.

Most of the children were born to unmarried mothers, or came from large families whose parents couldn’t afford to keep them.

The commission was set up in 2000 when a documentary for Irish television revealed that sexual, physical and emotional abuse was endemic within many Catholic institutions.

It has since heard evidence from over 1,000 former residents of state institutions.

Mary Raftery, producer of the original documentary, said the abuse she helped to uncover was “way off the scale and designed to break children”.

“There was widespread sexual abuse, particularly in the boys’ institutions,” Raftery said.

“Extremely vicious and sadistic physical abuse, and horrific emotional abuse

“We had people talk to us about hearing screams – the screams of children in the night coming from these buildings and really not knowing what to do.” (Irish priest child abuse report will be ’shocking’by David Masters , source: http://www.interfaith.org/2009/05/19/irish-priest-child-abuse-report-will-be-shocking/)

Berita ini sebetulnya bukan berita baru bagi saya, karena ketika saya di Singapura beberapa bulan yang lalu, harian The Straits Times sudah memuat pemberitaan penuh luka ini. Luka bagi saya, karena yang melakukan adalah mereka yang dihormati, yang diberi kepercayaan untuk menjaga dan mendidik anak-anak. Luka, karena mereka yang melakukan adalah wakil Tuhan alias pastor. Yang seharusnya lebih mencirikan Kristus sendiri. Ini malahan bukan saja mengkhianati kepercayaan itu, melainkan memberikan bekas tak terlupakan pada orang-orang yang dilecehkan seumur hidupnya. Apa alasannya mereka melakukan hal tersebut dan lebih parahnya kemudian mereka menutupinya?

Sebelumnya saya ingin membuka juga kisah di mana orang yang dianggap sebagai panutan, orang yang seharusnya memiliki tingkat relijiusitas yang tinggi, ternyata bahkan lebih parah dari mereka yang tak pernah ke gereja, tak pernah sembahyang, tak pernah ke vihara atau mesjid. Ada suhu Ren Ci, organisasi agama Buddha yang menggelapkan uang donasi untuk ‘charity’ di Singapura. Biksu yang hidup enak dengan kartu kredit yang banyak, limit yang amat besar, bahkan memberikan asistennya kartu tambahan buat belanja. Ada pendeta yang mengasari dan ‘abusive’ terhadap anak istrinya. Di gereja menyebarkan firman Tuhan dan terlihat hebat, sementara di rumah, tak lebih dari tukang pukul alias algojo bagi keluarga. Jauh dari kasih Tuhan. Teringat pula Phillip Garrido, seseorang yang menculik dan memperkosa Jaycee Lee Dugard selama puluhan tahun dan menempatkannya di belakang rumahnya, adalah seorang fundamentalis yang berpikir untuk mendirikan gerejanya sendiri. They (his neighbors) described him as a religious fundamentalist who often preached from his front yard and wanted to set up his own church. Garrido boasts of his ability to ‘speak in the tongue of angels’ on a blog called voices revealed.( The Straits Times).

Deretan itu bertambah dengan kyai yang sering menggunakan kesempatan untuk melecehkan anak-anak, di saat seharusnya dia mengajar mengaji. Maksud saya, di seluruh agama, ada saja orang-orang yang tidak sesuai dengan apa yang dia wartakan. Namun, karena yang saya anut adalah Katolik, maka pembahasan akan lebih berkisar di Katolik saja.

Setiap ada seorang pemuka agama yang melakukan tindakan tidak terpuji, hati saya sakit. Sakit, karena seharusnya standar untuk mengukur mereka pastinya di atas standar orang yang tidak kenal Tuhan, orang yang ke gereja hanya seminggu sekali, atau mereka yang tak pernah ke gereja sama sekali. Logika saya yang menyatakan bahwa seharusnya mereka berbuat lebih baik daripada orang pada umumnya, ternyata tak lagi menjelma nyata. Saya harus gigit jari, kecewa, berdoa kepada Tuhan dan kemudian menerima kenyataan yang pahit itu.

‘The Irish Abuse’ menjadi lembaran hitam gereja yang tak terhindarkan. Sama seperti pelecehan seksual di Amerika Serikat yang dilakukan para ‘clergy’, para tokoh berjubah dan Romo. Saya amat terluka, karena korbannya anak kecil tak berdosa yang kebanyakan tak mengenal figur Bapa. Karena mamanya single parent, kurang biaya, makanya menaruh mereka di biara. Tapi, lihat, apa yang terjadi? Pelecehan dan kekerasan mental yang dilakukan jauh lebih buruk daripada mereka yang tidak kenal Tuhan. Dalam pikiran saya, dengan pelecehan macam ini dari figur ‘Bapa’ di dunia, apa mungkin bagi mereka mengenal figur Bapa Surgawi yang sempurna itu?

Saya kecewa. Itu jelas. Saya marah dan kesal. Itu juga iya. Tapi saya tidak memaki. Saya hanya menangis bersama para korban, saya berduka, saya sedih. Karena saya percaya Yesus datang bukan untuk melukai, melainkan menyembuhkan dan membalut luka. Saya masih percaya ada banyak ribuan Romo dan biarawan yang baik, yang tulus, yang jujur. Yang sungguh kerja buat Tuhan tanpa pamrih. Saya pernah menemukannya dan saya berharap untuk menemukan Romo-Romo semacam ini di kemudian hari. Salah satu Romo yang masih amat membekas di hati saya adalah Romo Rolf Reichenbach, SS.CC. Dengan ketulusan dan kebaikannya, saya yakin ribuan umat masih tetap mengenangnya dengan indah. Jarang ada keluhan soal beliau, karena hidupnya yang sederhana, doanya yang tak kunjung putus, ingatannya yang tajam akan pertemuan dengan seseorang, dan karunia bahwa dia mengerti kondisi hati seseorang dan mampu membayangkan kejadian saat yang bersangkutan mengaku dosa. Banyak keajaiban lainnya, oleh banyak orang dia disebut sebagai setengah Santo. Atau Beato. Termasuk saya menyebutnya demikian. Dia memang sudah meninggalkan kita semua, sudah bahagia di surga, tapi kasih dan pelayanan serta kesederhanaannya tetap tinggal dalam memori kami yang pernah tersentuh olehnya.

Gereja Katolik tidaklah sempurna. Sama seperti semua institusi keagamaan di dunia, pasti tidaklah sempurna. Namun, ketidaksempurnaannya itu tak menjadikan saya memilih untuk pergi dan mencari kesempurnaan yang lain. Karena saya sadar, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Perbandingannya, ketika salah satu anggota keluarga kita ‘rusak’, minum minuman keras, narkoba, seks bebas atau judi, tak menjadikan seluruh anggota keluarga kita ‘rusak’, bukan?

Ketika ‘Irish atau US abuse’ diangkat ke permukaan, banyak orang mulai melecehkan Gereja Katolik. Lihat tuh, institusi yang katanya baik, koq begitu? Saya juga sedih mendengar hal ini. Karena institusi itu baik adanya, tak ada maksud jelek atau intensi buruk saat Gereja Katolik berdiri. Dan kalau ada kesalahan, mungkin itu manusiawi. Sama seperti Biksu Ren Ci di Singapura yang korup tak membuat semua biksu adalah korup. Saya banyak melihat biksu luar biasa yang penuh kasih dan terus mewartakan ‘Dhamma’ dan kebaikan tanpa henti. Begitupun dengan pendeta, begitupun dengan Kyai, atau pemuka agama Hindu.

Gereja Katolik memang pernah bersalah. Dan dengan mengakui kesalahan itu, rasanya lebih mudah untuk berjalan dan melihat masa depan. Ini memang lembaran hitam yang membekas dalam di hati para korbannya. Ini memang sulit diterima bagi mereka yang idealis (mungkin termasuk saya). Tetapi, pada akhirnya saya menerima. Saya mendapat pengertian baru, bahwa apa pun yang terjadi, Gereja Katolik tetap rumah saya. Tetap keluarga saya. Ketika salah satu anggotanya bersalah, saya tak hendak berpikir bahwa seluruh keluarga saya ‘sakit’ dan dalam kondisi ‘parah’. Masih banyak kebaikan yang tak pernah diwartakan. Kejelekan memang mudah diungkit, tapi kebaikan sulit terlihat.

Luka ini adalah luka kita bersama. Luka salah satu anggota keluarga kita, adalah luka keluarga kita secara keseluruhan. Namun, saya tetap percaya bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia tak pernah menutup mata dengan seluruh kejadian ini. Dunia akan makin jahat, akan banyak ‘nabi palsu’ yang coba mengacaukan dunia ini. Namun, orang-orang pilihan Allah juga tak henti mewartakan kebaikan-Nya senantiasa. Dan pada akhirnya, saya tetap percaya Yesus akan tetap jadi pemenang. Yang baik akan selalu mengatasi yang jahat.

Di masa depan, saya amat mengharapkan tidak ada kejadian semacam ini. Namun, sulit mengelak bila kejadian itu datang. Saya hanya bisa berdoa, percaya, dan berserah… Memang ilmu alkitab bukan segalanya. Memang pengetahuan akan Tuhan penting, akan tetapi lebih penting lagi: bagaimana hidup kita? Kesaksian hidup bicara jauh lebih banyak ketimbang ucapan di bibir saja.

Saya jauh dari sempurna. Saya cuma manusia biasa yang kadang bisa kesal dengan anak, sebal dengan suami, marah karena kecapekan, tapi saya mencintai mereka (keluarga saya) dan saya mencintai Tuhan. Dan saya percaya, bila kita semua ingin menjadi lebih baik di dalam Dia, seharusnya kita memberikan kesaksian hidup yang bisa dinikmati dunia. Karena kita menyebarkan kasih dan kebaikan. Karena kita tidak menyebarkan permusuhan atau kebencian.

Wahai Gereja Katolik, apa pun yang terjadi, luka ini luka kita bersama. Sekaligus, saya tetap mencintaimu. Dan Yesus, tak satu pun kejadian itu mampu menggoyahkan saya daripada-Mu. Karena saya percaya, bersama Yesus, ini semua akan terlewati. Saya hanya bisa belajar hidup lebih baik lagi dan mempraktekkan apa yang saya pelajari lewat alkitab. Bukan hanya sekadar ilmu di otak, tanpa tindakan nyata. Action still speaks louder than words. Acts of love is still stronger than telling others how you love them. Tak pernah mudah, tapi bukan ‘mission impossible’. With God, it’s always mission possible.

HCMC, 15 December 2009

-fon-

* prihatin dengan ‘Irish Abuse’ namun tetap percaya Gereja Katolik tetap menawarkan banyak kekayaan dan keindahan. Maaf jadi panjang tulisannya. GBUs all, semoga kita jadi orang yang lebih baik dalam kasih, dalam tindakan sehari-hari. Amin.


Thursday, December 10, 2009

Fireproof



Marriage is not fireproof. But in case it’s on fire, people must withstand it.

Cuplikan kata-kata yang menyentuh hati saya dari film Fireproof yang dibintangi oleh Kirk Cameron (aktor yang terkenal lewat sitkom ‘Growing Pains’ dan ‘Full House’). Inti ceritanya adalah sebagai berikut:

Captain Caleb Holt (Kirk Cameron) is a firefighter in Albany, Georgia and firmly keeps the cardinal rule of all firemen, "Never leave your partner behind". But Caleb's home life is an altogether different story; his seven-year marriage to his wife Catherine (Erin Bethea) is on the verge of implosion. Neither one understands the pressures the other faces, and after a heated argument in which Caleb screams in Catherine's face, she declares she wants out of the marriage, and takes off her wedding ring.

While Caleb claims to his friends and co-workers that Catherine is over-sensitive and disrespectful, Catherine simultaneously claims to her peers that Caleb is insensitive to her needs and doesn't listen to her. Further catalyzing Catherine's motivation for divorce is Caleb's addiction to Internet pornography and a large sum of money ($24,000, to be exact) he has saved up for a fishing boat he intends to buy, ignoring the fact that Catherine's disabled mother is in need of hospital equipment that she cannot afford, and which insurance refuses to cover. Caleb tells his father John about the impending divorce, and John challenges Caleb to commit to a 40-day test called, "The Love Dare." Caleb reluctantly agrees to do the test, but more for the sake of his father than his marriage. Catherine initially sees through Caleb's half-hearted attempts to win back her heart, which deepens Caleb's frustration. But with his father's encouragement, Caleb continues with The Love Dare, and eventually makes a life-changing commitment to God, unbeknownst to Catherine. (source: www.imdb.com)

Sebagai seorang Kapten pemadam kebakaran di Albany, Georgia, Caleb merasa di mana pun dia dihargai kecuali di rumah. Dia tidak dihargai istrinya sendiri. Dan kesalahpahaman demi kesalahpahaman dari masalah sepele menjadi masalah besar yang berujung ke arah perceraian. Caleb sendiri terbiasa dengan pornografi yang dia akses melalui internet di rumahnya. Sementara tak juga memedulikan kesehatan ibu mertuanya yang semakin menurun dan membutuhkan alat bantu kesehatan. Sementara dia menyimpan uangnya untuk membeli kapal untuk memancing ikan dan bagi dirinya sendiri. Sebelum bercerai, ayah Caleb memberikannya sebuah buku. Yang disebut sebagai ‘The Love Dare’, tantangan cinta. Sebuah buku yang berisi tulisan tangan Sang Ayah yang berisi hal-hal yang harus dilakukan selama 40 hari. Caleb menjalankannya. Menjalankan dengan tidak sepenuh hati. Sampai hari ke-23, tiada hasil berarti. Malahan dia sudah mau berhenti saja, ketika istrinya menolak mentah-mentah dan mengatakan tidak lagi mencintai Caleb, ketika Caleb menyiapkan ‘candle light dinner’ romantis di rumah mereka. Caleb berteriak, hampir menyerah dan menelpon kembali ayahnya. Yang malahan memberi penerangan tentang siapa itu Tuhan Yesus dan meminta Caleb untuk menerima Yesus sebagai bagian hidupnya agar dia bisa hidup dan mencintai dengan lebih dan lebih lagi.

Caleb akhirnya menerima, walaupun dia sendiri ragu. Dan penerimaan itu berbuah perubahan berarti. Termasuk tindakan membuang dan memukul komputer di rumahnya, tempat godaan terhadap pornografi bermula. Akhirnya? Happy ending. Yeay! Yang selalu saya suka. Caleb berubah, istrinya menerima dan mereka memulai kembali perjanjian pernikahan mereka di depan salib untuk saling setia. Tuhan mengubahkan Caleb, mengubahkan hidupnya, dan membuat Sang Istri jatuh cinta lagi padanya bahkan ingin berubah pula.

Dari sinopsis di atas…

Tak pernah saya ragu, bahwa hidup dalam bahtera perkawinan sering kali membawa para awak kapalnya menembus badai. Atau dalam film ‘Fireproof’ digambarkan dengan menembus api. Banyak kali, perkawinan dilanda ‘kebakaran’ di sana-sini. Mulai dari yang sederhana semisal ‘kebakaran jenggot’ sampai kebakaran yang lebih parah, seolah api mampu membuat suami dan istri kehilangan segala-galanya.

Memang perkawinan tidak ‘fireproof’. Perkawinan membutuhkan banyak kali upaya pemadam kebakaran, ‘fireman’, guna memadamkan percikan api amarah, api kebencian, api egoisme, api cemburu, dan api-api negatif lainnya. Namun, pada saat yang bersamaan, perkawinan juga membutuhkan api cinta, api asmara, api kasih dan kebaikan yang terus mengiringi pernikahan itu sendiri.

Dalam dinamika perkawinan dan masalah yang dihadapi, seperti yang diceritakan di film itu tadi, tak jarang api-api yang negatif masuk dan berkembang secara cepat membakar rumah tangga yang tadinya rapi jali, menjadi hancur berantakan. Pada akhirnya, bagian yang amat saya suka dari film ini adalah melibatkan Tuhan di dalam perkawinan tersebut dan menempatkan Tuhan sebagai pusat perkawinan itu, bukan lagi salah satu pasangan. Karena mengandalkan manusia yang terbatas ini, pastinya penuh kekecewaaan. Berapa sering Sang Istri kecewa pada Sang Suami, dan berapa sering Sang Suami marah-marah kepada Sang Istri. Manusia bisa mengecewakan, tetapi kabar baiknya Tuhan tidak. Tuhan selalu datang tepat waktu, di saat-saat kekecewaan itu teramat berat. Dan bagi mereka yang mengandalkan Tuhan, yang masih mau membuka hatinya untuk kehadiran Tuhan, saya tetap percaya bahwa Tuhan akan hadir. Tidak peduli seberapa buruk kondisi perkawinan di saat itu, tak peduli seberapa hancur keadaannya ataupun seberapa bobrok keadaannya, ketika Dia hadir pasti akan terasa perbedaannya.

Dengan menghadirkan sumber cinta yaitu Tuhan sendiri, semoga banyak perkawinan terselamatkan. Banyak kekecewaan terobati, dan banyak luka akan diplester oleh kasih-Nya. Diperban dengan kelembutan-Nya. Sehingga banyak hati menjadi baru dan mampu mencintai pasangannya dengan kasih pula.

Tidak ada relasi yang ‘fireproof’. Persahabatan, perkawinan, bahkan relasi dengan Tuhan terkadang dilanda ‘kebakaran’ dan api yang merusakkan itu menyerang. Namun, kembali, tiada yang mustahil bagi mereka yang percaya dan mau berubah menjadi lebih baik. Dengan membuka hati dan menyertakan Tuhan, tidak ada satu pun relasi yang tak bisa terselamatkan. Dia sanggup! He is able!

HCMC, 11 December 2009

-fon-

* terinspirasi film ‘Fireproof’. Semoga someday, kalo Tuhan mengizinkan aku bikin film, aku juga mau bikin yang kayak gini…*mulai buka-buka buku Scripwriter, belajar bikin naskah film hehehe…*. I always think that you can choose to write good things or trash-something bad or not useful things-but until now (and hopefully as long as I live) I want to write down God’s goodness and spread it to this world. Amen.

* Special thanks to Monica yang udah ngasih DVD ‘Fireproof’ ke aku in Changi Airport, on my last day in Singapore before my departure to Vietnam. GBU, Sizta! :)

sumber gambar:

http://salmosproducciones.com/yahoo_site_admin/assets/images/Fireproof_MoviePoster.92202043.jpg

Friday, November 27, 2009

Perempuan Berplester


Beberapa hari yang lalu, di milis para penulis renungan harian wanita dan teman-temannya, saya menemukan suatu pertanyaan yang amat menarik, dilemparkan oleh salah seorang dari kami yang berprofesi sebagai psikolog.

Tergelitik dengan tingkah laku pada teenagers yang setiap hari saya temui....... ada situasi yang ingin saya tanyakan.... silakan ditanggapi dengan cara apapun...

Kira-kira apa yang akan kalian lakukan jika suatu hari melihat seorang remaja perempuan (umurnya kira-kira 14 tahun....kamu cukup mengenalnya. .......beberapa bulan yang lalu kamu melihatnya dipangku oleh sang pacar di tempat umum dan sejak itu kamu tidak bisa lupa wajahnya)... .suatu pagi, dilehernya tertempel sebuah plester kecil (kira-kira berukuran 1x2 cm) (dulu sih waktu saya seusia itu....teman- teman yang menggunakan plester tersebut menutupi 'akibat perbuatan sang pacar' terhadap lehernya)... ...

What will you say or do to her???

Inilah kenyataan yang harus dihadapi. Mau tidak mau, suka tidak suka, anak remaja sekarang memiliki keberanian yang berbeda dengan yang ditunjukkan dengan generasi sebelumnya. Walaupun bukan berarti tingkah laku generasi sebelumnya lebih baik, namun harus pula diakui bahwa kemudahan teknologi, penyebaran informasi lewat internet dan media massa lainnya juga membuat mereka menjadi matang lebih cepat. Di zaman sekarang ini, mengasuh dan mendidik anak menjadi semakin sulit. Menjadi PR alias pekerjaan rumah yang tak ada habisnya bagi para orang tua, guru, pendidik, dan keluarga. Prihatin dengan keadaan ini, teman saya melemparkan pertanyaan tersebut. Dan ditanggapi dengan macam-macam jawaban. Dan salah satu jawaban yang paling menyejukkan dan melegakan, datang dari seorang sahabat dalam Kristus, Riko Ariefano sebagai berikut:

Dengan asumsi bahwa kita mau membawa anak ini kepada Tuhan dan Gereja, maka ada beberapa hal yang mungkin jadi reaksi saya pribadi. Secara umum ini adalah dasar-dasar pendekatan buat generasi ini, yang diwakili oleh remaja perempuan 14 tahun berplester di leher...

1. Tidak menghakimi.

Generasi ini sudah terlalu sering mendapat cap "bobrok", "tidak bermoral", "rusak" dan sebagainya, sehingga seringkali apapun perilaku orang-orang muda, mereka langsung dipandang dari sudut negatif. Ini stigma yang menyedihkan karena buah apel jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya. Dengan kata lain, orang muda sering dinilai gagal padahal mereka adalah korban kegagalan generasi sebelumnya - tanpa mengurangi segala hormat pada generasi senior. Plester di leher bisa saja bekas digigit serangga, plester di leher bisa saja bekas bisul yang mau ditutupi, walaupun plester di leher bisa juga akibat perbuatan pacarnya. Tapi yang terpenting adalah, sikap hati kita jangan terlalu cepat melemparkan "judgement" sehingga belum apa-apa, sikap ini justru sudah menjadi halangan terbesar bagi kita untuk merangkul orang-orang muda dengan kasih Tuhan.

2. Menjadi sahabat dan saudara

Pemberontakan - salah satu stigma yang melekat pada generasi ini, salah satunya juga berakar dari kurangnya figur "authority" yang baik di mata mereka, khususnya dari keluarga mereka, misalnya kurangnya figur bapa/ayah yang penuh kehangatan kasih tapi juga sekaligus berpegang teguh pada prinsip2 kebenaran. Pendekatan authoritative seperti menegur atau mengajar seringkali justru menjadi counter-productive bagi generasi ini (Elo mau ngajarin gue? Emangnya elo siapa?). Pintu masuk yang selalu baik adalah kasih, persahabatan, dan persaudaraan - berada di tengah-tengah mereka, menangis dan tertawa bersama mereka, serta mendengar dari dekat apa yang mau diserukan oleh debar jantung mereka. Kehadiran yang jujur dan tulus selalu mendapat tempat istimewa di hati orang muda. Ini termasuk berdoa untuk mereka (atau untuk si perempuan berplester). ..

3. Mencari akar masalah

Duduk di pangkuan pacar dan plester di leher (karena pacar) adalah gejala di permukaan, padahal masalahnya selalu lebih dalam daripada itu, dan selalu berujung pada luka serta kurangnya pengalaman dicintai dan diakui. Maka sharing pengalaman hidup dengan suasana persahabatan dan persaudaraan adalah jalan menuju akar masalah yang sesungguhnya. Ini pastinya mengandaikan "trust" yang sudah terbangun dengan baik.

4. Berbagi kasih dan kebenaran

Bila sudah terbangun persahabatan dan persaudaraan yang baik, maka jangan pernah takut untuk berbagi kebenaran! Orang muda selalu haus akan kebenaran dan kebahagiaan sejati - dan hanya kasih Tuhan yang bisa memuaskan kehausan ini secara utuh. Ceritakan (bukan ngajarin) pada mereka tentang Tuhan Yesus yang hidup dan ajak mereka untuk datang ke Dia. Berbagi kasih dan kebenaran yang sejati selalu berujung pada pengalaman perjumpaan dengan pribadi Yesus. Apabila mereka, atau si perempuan berplester ini, sudah berjumpa dengan pribadi Yesus yang sungguh memesona dan memenuhi hatinya dengan cinta, maka dia akan bersedia melepaskan pangkuan pacar dan plester di leher (karena pacar), karena dia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih indah dan berharga. Sesuatu ini ternyata adalah seorang pribadi bernama Yesus.

5. Mengajak berkomunitas

Hidup yang berubah karena berjumpa dengan Yesus harus didukung dengan kelompok sahabat-sahabat yang sama-sama berpusat pada Yesus. Maka penting banget untuk mengajak dia berkenalan dengan sebuah komunitas yang bisa saling mendukung di dalam kasih dan kebenaran sejati. Mudah-mudahan dengan hidup berkomunitas yang sehat, perempuan berplester ini kemudian juga punya hati untuk cerita tentang Yesus ke perempuan-perempuan berplester lainnya...

Catatan terakhir:

Menurut saya pribadi, masing-masing dari kita adalah perempuan berplester di leher akibat perbuatan pacar kita. Plester di leher itu kan hanya tanda bahwa kita punya plester di hati. Hanya saja pacar-pacar kita tidak/belum kelihatan orang lain (atau mungkin sudah?). Plester ini bisa jadi berupa seks, rokok, workaholic, pujian berlebihan dari orang lain, uang, dsb, atau bentuk kompensasi dari luka akibat kurangnya kasih Allah di hati kita masing-masing. Dan setiap dari kita butuh pengalaman perjumpaan dengan pribadi Yesus terus menerus, sampai hati ini meluap dengan cinta. Dengan pengalaman perjumpaan terus menerus, kita dimampukan untuk melepaskan plester-plester ini, dan melangkah meraih mimpi-mimpi hati kita bersama cinta Tuhan.

in HIS love,

R.

(dalam proses melepaskan plester juga, so please don't judge me, but love me instead)

Saya dan beberapa teman tersentuh sekaligus tergerak dengan jawaban Riko yang menyejukkan, merangkul dengan kasih Kristus, sekaligus mengingatkan bahwa kita semua adalah perempuan berplester. Berplester dalam arti memiliki luka yang ingin disembuhkan lewat kasih-Nya. Plester itu (kembali mengutip catatan Riko dan sedikit menambahkan dari versi saya) : berupa seks, narkoba, rokok, workaholic, gila pujian, uang, pornografi, pribadi yang penuh kemarahan, dan segala bentuk kompensasi dari luka akibar kurangnya kasih Allah dalam hati kita masing-masing.

Kita semua adalah perempuan berplester, kalau saja kita mampu melihat para remaja dengan cara yang sama. Kalau saja kita bisa melihat orang lain dengan cara yang sama. Bahwa kita semua terluka. Everybody hurts, including me. Semua orang terluka, termasuk saya juga. Jadi, saya tahu rasanya terluka dan itu menyakitkan. Saya tahu rasanya lari dari luka itu dan mencoba untuk sembuh. Dengan berbagai cara yang saya kira akan menyembuhkan, namun nyatanya semakin membawa saya kepada dosa yang memisahkan saya semakin jauh dengan Allah. Anak muda ingin dipandang dengan kasih. Dengan tidak dihakimi. Begitu pun dengan diri kita. Dengan diri orang lain juga begitu. Tak ada yang suka dihakimi. Namun, takkan ada yang menolak bila pendekatan itu dilakukan dengan kasih. Dengan cinta Allah. Kita semua pernah mengalami, pernah merasakan, bahkan mungkin masih berjuang akan miskinnya kasih dalam diri kita. Namun, dengan merangkul sesama, siapa pun mereka tak terkecuali para generasi muda penerus bangsa dalam tindakan cinta yang penuh kasih, saya yakin generasi harapan bangsa itu akan mendapatkan sesuatu yang berbeda. Karena kasih Allah selalu menjadikan semuanya baru. Dengan kepenuhan di dalam kasih-Nya, orang tidak akan lagi lari mencari sesuatu yang bukan dari-Nya. Karena mereka tahu, semua yang bukan dari Allah adalah sementara. Hanya berupa loncatan dari satu dosa ke dosa lainnya. Satu ketergantungan ke ketergantungan lainnya. Hanya bersama DIA, kebebasan sepenuhnya akan tercipta. Iman akan Allah melepaskan ketergantungan negatif lainnya.

Kita semua perempuan berplester yang ingin sembuh, ingin melepaskan plester, koyok, perban, yang selama ini ada di tubuh kita. Yang selama ini ada di hati kita. Mari kita kembali kepada kasih Allah yang sejati. Kristus sendiri. Yang selalu mampu memulihkan dan membasuh semua luka dengan kasih-Nya. Proses yang terus-menerus ini hendaknya dimulai saat ini. Jangan hakimi orang lain, jangan hakimi remaja berplester, namun rangkul mereka dengan cinta. Tuhan, penuhi diri kami yang berplester ini dengan cinta-Mu.

HCMC, 27 November 2009

-fon-

* trims buat Ika Sugianti dan Riko Ariefano buat kesediaannya membagikan hal ini untuk saya jadikan tulisan. GBU frenz…! :)