Monday, November 22, 2010

Seruan Hatiku


***Based on 1 Samuel 1:1-28

Tak ada orang yang akan mengerti perasaanku.Tidak ada!

Yang mereka lakukan hanyalah mencemooh diriku. Menorehkan luka di hatiku. Terlebih lagi, maduku itu. Dia-yang sudah memberikan banyak anak pada suamiku-merasa lebih tinggi martabatnya ketimbang diriku.

Terbayang tatapan dan ucapan sinisnya.

“ Dasar mandul! Sekali mandul ya tetap mandul!”

Aku diam.

Mencoba menenangkan perasaanku yang sebetulnya menjerit minta dikasihani. Tetapi, setelah tahun demi tahun kandunganku selalu kering- tak pernah berisi seorang jabang bayi pun-aku jadi terbiasa. Menahan sakit hati, bukanlah hal baru bagi diriku. Dia sudah jadi bagian hidupku.

Kugigit bibirku sendiri, sampai sedikit berdarah. Aku tak sanggup lagi sebetulnya menerima kenyataan ini. Terlalu pahit bagiku harus melihat kemegahan itu di hadapanku setiap hari. Megah bagiku, karena aku tak memiliki sedikitpun bagian dari itu.

Kami serumah dan dia-maduku itu- merajalela.

Juga anak perempuan dan lelakinya. Sedangkan El, suamiku oh maksudku suami kami (tak rela ungkapkan ini, tapi inilah kenyataan yang ada) terlalu sibuk untuk memperhatikan diriku. Mungkin juga perasaannya yang telah berubah padaku karena aku tak kunjung memberikan keturunan padanya. Aku merasa dia lebih memperhatikan maduku. Iri? Atau cemburu? Mungkin gabungan keduanya… Karena dia punya segala yang kuimpikan: anak dari rahimku sendiri.

Dalam sedih dan kepiluan mendalam… Aku mencari rumah ibadah, tempat kami biasa datang sekeluarga bila ada perayaan khusus. Hatiku hancur luar biasa. Dan dalam keremukan itu, aku memanjatkan doa:

“ Tuhan, bila Kau mengizinkan aku menimang seorang anak dari rahimku sendiri. Akan kupersembahkan dia kepada-Mu untuk mengabdi dan setia sepanjang hidupnya.”

Ah, kutepis inginku. Juga anganku. Mungkin aku bermimpi karena pada kenyataannya sudah sekian lama aku tak jua mampu memberikan seorang anak bagi suamiku. Tiba-tiba kusadari, tak ada orang lain yang lebih mengerti perasaanku selain diri-Nya. Keyakinan itu berpadu dengan keraguan yang menyapa dan menyergapku secara mendadak. Mungkinkah Dia mengerti? Bukankah tak seorang pun tahu keluhku? Mereka cenderung hanya bisa memojokkanku dan membuatku terpuruk dalam untaian kesedihan tanpa akhir…

Tuhan, adakah Kaudengar seruan hatiku?

Aku komat-kamit berdoa. Beberapa orang memandangiku dengan aneh. Bahkan kudengar mereka berbisik bahwa ada seorang gila di rumah ibadah ini. Pasti maksudnya diriku!

Aku tak hendak melawan. Biarlah mereka bicara sesuka hati mereka. Dan biarlah aku lakukan apa yang membuat diriku tenang. Karena ketiadaan keturunan selama ini sudah membuat diriku dipenuhi lautan kepedihan tanpa batas yang kukira tak seorang pun tahu.

Aku pulang dan berlalu. Berharap kali ini doaku akan dijawab. Tetapi aku tak berani berharap banyak, karena kekecewaan sudah bertubi-tubi menghantamku. Harap, mungkinkah kausirami hatiku yang gersang ini kembali?

***

Ajaib!

Setelah doa dan keluhan penuh rasa amarah-frustrasi dan kecewaku itu, aku dinyatakan hamil. Dan yang amat membahagiakan adalah ketika dia lahir dan aku memeluk dirinya. Anakku yang sudah kutunggu-tunggu bertahun-tahun lamanya. Dia hadir memenuhi hari-hariku dengan tangisnya, dengan ompolnya, dengan celotehnya yang belum kumengerti. Dan suamiku jadi lebih betah tinggal di dekatku. Samuel, jadi berkat bagi kami sekeluarga…

Maduku?

Oh, dia tak lagi bersuara… Dia tak lagi bisa menuduhku sebagai perempuan mandul karena Samuel adalah bukti kasih Tuhan kepadaku.

Aku amat bahagia. Dia memang selalu dengarkan seruan hati kita semua umat manusia. Dalam keputusasaan, terkadang aku merasa mungkin Dia terlalu sibuk bahkan sudah melupakan diriku yang kecil dan tak berarti ini. Namun, kenyataan kembali membuktikan bahwa Dia selalu dengar setiap doa. Dia memonitor setiap seruan hati yang diutarakan secara tulus kepada-Nya.

Tuhan, terima kasih. Kupersembahkan anak kami kepada-Mu. Seumur hidupnya, terserahlah ia kepada-Mu, Tuhan…

Aku percaya bahwa Tuhan tak pernah meninggalkanku. Samuel adalah bukti terindah bahwa kesetiaan-Nya akan janji-Nya takkan pernah berubah. Terima kasih, Tuhan!

Ho Chi Minh City, 23 November 2010

-fon-

* mengingat kembali saat-saat mata kuliah Narasi di KPKS. Mencoba menuangkannya dengan nuasa penulisanku sambil mencoba menangkap perasaan Hana di teks Kitab Samuel tersebut.

sumber gambar:

fpbookroom.org