Sunday, October 2, 2011

Mendua



*** sebuah cerpen

Mari bercerita tentang kegetiran yang ada di rasa, di jiwa.

Suamiku baru saja melakukan pengkhianatan. Mengatas-namakan kesepian, dia cari lagi seorang perempuan. Ironisnya, saat aku mulai bekerja kembali -banting tulang untuk bantu keluarga- saat itulah baginya merupakan celah. Apa pun alasannya, sulit bagiku untuk menerima.

Memuakkan. Menyakitkan. Kenyataan itu begitu memilukan.

Mengapa sampai hati kaulakukan?

Tak tahukah kau, kau hujam dadaku berkali-kali dan aku kesakitan?

Akibat dirimu berpaling dari kesetiaan?

Haruskah kusalahkan keadaan?

Atau selama ini kau memang hanya cari-cari alasan?
Haruskah kupilih pisah?
Sementara kulihat buah hati kita yang masih begitu belia.

Baru dua tahun saja umurnya.

Ah, aku tak tega, membuatnya kehilangan figur seorang ayah.

Itu konsekuensinya kalau aku memilih meninggalkanmu.

Akhirnya, kutelan pahitku sendirian.

Tak berani kubicara pada ibuku kalau hanya ciptakan kesedihan baginya.

Duka menaungi hari-hariku.

Senyumku pun bernada pilu. Tak bisa ia kusembunyikan dari wajahku.

Apalagi setelah kutahu, WIL (Wanita Idaman Lain)-nya suamiku lebih segala-galanya dariku. Lebih cantik, lebih putih, lebih tinggi, dan lebih muda. Dan yang lebih membuatku tersedak mendadak: di rahimnya sedang tertanam benih suamiku. Astaga!!!

Inginku teriak.

Tapi aku tak kuasa. Hanya dalam hati, aku teriak sekencang-kencangnya. Tak pernah kubayangkan akan berbagi suami. Kami melewati masa berpacaran yang menyenangkan. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Kami memang menikah muda. Usiaku baru 23 kala itu, dan suamiku-Don- berusia 26 tahun. Dan kami saling cinta, jadi masih mau tunggu apa? Hatiku begitu berbunga-bunga ketika dia melamarku. Kuanggukkan kepala kuat-kuat tanda setuju. Bahagia langsung memenuhi hidupku.

Tetapi, itu masa lalu.

Kini, yang ada hanyalah kelelahan seusai kerja dan kondisi rumah yang tak lagi ramah. Kami saling diam, kalau tidak saling caci. Anak kami kebingungan melihat kami. Dia terpaksa kutitipkan pada ibuku ketika kubekerja. Suamiku memang usaha sendiri, jual-beli barang-barang apa saja yang dibutuhkan sebuah kantor, jadi dia punya banyak waktu sementara aku pergi cari uang buat bantu-bantu keluarga. Dia pun setuju ketika itu, kapan pun aku mau mulai kerja, silakan saja katanya. Tetapi, dia ingkar akan janji setianya. Dia lupakan begitu saja. Di siang hari saat aku bekerja, dia mencari cinta lainnya.

Kata sahabat-sahabat wanitaku- Vina, Jenny, dan Kiky, tampar saja perempuan tak tahu diri itu. Tetapi, entah mengapa, aku tak bisa. Ketika kutemui dia, aku hanya bisa berkata.

“ Sejujurnya, aku kasihan padamu. Kamu begitu muda dan cantik, apa kamu tidak bisa cari suami yang lebih baik dari suamiku ini?” Kukatakan itu dengan tatapan menghujam ke arahnya, dengan nada sesinis-sinisnya. Dan dia hanya bisa menangis, tanpa banyak berkata-kata.

Kejadian ini baru dua minggu yang lalu kuketahui.

Jadi, sulit bagiku berpikir jernih. Untunglah sahabat-sahabat wanitaku, juga kakak perempuanku terus memberikan kekuatan padaku. Kalau tidak, aku sendiri takut pikiranku jadi kacau. Aku juga tak berani terlalu lama sendiri, aku takut ada keinginan untuk bunuh diri yang pernah juga muncul sesekali. Tetapi, selalu dia kutepis, karena aku harus hidup demi puteri kami. Walaupun papanya sudah begitu menyebalkan dan menyakiti hati kami, aku memilih tinggal demi puteri kami. Suamiku kadang pulang, kadang tidak. Saat dia tidak pulang itulah, kutahu pasti, dia sedang berada dengan perempuan itu.

Di saat seperti ini, aku hanya bisa berdoa. Memohon kekuatan dari-Nya. Berharap suatu saat suamiku akan berubah menjadi baik kembali. Seperti sedia kala? Ah, itu hanyalah anganku semata yang rasanya sia-sia. Tetapi, rasanya berdoa tak pernah salah. Hari-hari begitu sulit kujalani. Terpikir ingin berhenti kerja, tetapi tak tega pada bos yang sudah memberikan kepercayaan padaku. Dan kalau aku tidak kerja, apa aku tidak lebih gila memikirkan semuanya itu karena punya lebih banyak waktu???

Kuatkan hatimu, Lanny. Kutepuk pundakku sendiri. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua belah pipiku, aku mencoba bangkit dari mimpi buruk ini.

***

Sudah dua belas tahun berlalu dari kejadian itu.

Anak kami, Tifanny, sudah berumur 14 tahun. Dia tumbuh menjadi ABG yang manis, ramah, dan tahu diri. Mungkin karena keadaan kami berbeda dengan keluarga lainnya, dia terbentuk jadi mandiri. Aku masih bekerja, tak kusangka pekerjaan itulah yang menyelamatkan aku dan Tifa. Karena kalau aku tak kerja, mana bisa Tifa sekolah? Suamiku, Don, sudah delapan tahun pergi dari hidup kami. Dia memilih tinggal bersama maduku yang bernama Angela (tidak sesuai betul, ya… Seseorang yang memiliki nama yang berarti malaikat malahan jadi penghancur rumah tanggaku?). Mereka pindah ke luar kota.

Hidupku baik-baik saja.

Ada beberapa pria iseng mencoba mendekat. Siapa tahu, janda ini mau coba-coba? Ah, bagiku, tak ada istilah coba-coba. Untuk hal-hal yang menyangkut hati, aku tak pernah coba-coba. Nanti keterusan dan aku tak bisa lari, jadi kupilih dinding tebal pembatas antara aku dan kaum lelaki. Biarkan aku sendiri dan membesarkan Tifa saja. Itu saja keinginanku.

Hanya kekuatan dari Tuhan yang membuatku tetap kuat berjalan.

Walaupun aku pernah jatuh tapi tangan-Nya menopangku sehingga aku tak sampai tergeletak. Aku tak pernah henti berdoa. Terus mensyukuri hal-hal lainnya, di luar Don yang mendua, dalam hidupku. Tifa yang sehat dan pintar, pekerjaan yang semakin membaik. Kini aku jadi manajer di kantorku.

***

Hari Natal 2010. Pagi yang indah dan damai.

Aku dan Tifa misa bersama di pagi yang cerah. Hati kami begitu damai dan bahagia. Melangkah kami perlahan pulang ke rumah, setelah selesai makan siang bersama di restoran kesukaan kami berdua- makanan Italia. Tifa makan spaghetti carbonara kesukaannya, sementara aku makan lasagna.

Untuk minuman, kami berdua memilih Italian Soda dengan flavour yang berbeda. Aku suka yang lebih manis: strawberry, Tifa suka yang asam-segar: kiwi.

Di depan rumah, Don menunggu kami. Entah apa maunya kali ini. Setelah bertahun-tahun tak ada kabar berita, kini dia datang lagi. Kutenangkan hatiku yang selama ini sudah terlanjur membeku. Tetapi, kuakui, aku masih menyimpan rasa itu. Don adalah cinta pertamaku.

Tifa masih ingat Papanya. Walaupun begitu kaku, dia masih bisa ucapkan:

Selamat Natal, Pa.

Don mengusap kepalanya dengan lembut seraya mencium keningnya.

“ Selamat Natal, juga, Sayang.”

Don tersenyum dan terlihat ketampanannya yang masih begitu menonjol di usianya yang sudah kepala empat itu. Hatiku berdesir, tetapi kutahan, sehingga suaraku tak jadi gemetar. Kuteguhkan hatiku dan kusalami dia, orang yang sudah begitu menyakitiku:

“ Selamat Natal, Don.”

Dia menarik tanganku dan memelukku. Aku terdiam. Terpaku. Kehabisan kata-kata. Tak kupungkiri, aku memang masih cinta.

“ Lan, aku mohon maaf padamu. Aku sungguh lelaki yang paling jahat di muka bumi ini. Telah melukai orang yang begitu mencintaiku.” Katanya lembut.

Aku menangis. Tak mampu kubendung lagi air mataku. Aku memaafkannya. Walau aku tahu, cinta kami tak pernah lagi akan sama.

Dalam kondisi tersedu, aku bertanya padanya:

“ Kenapa kamu ke sini? Mana Angela dan anak kalian?”

Dia terdiam. Tak lama, bibirnya meluncurkan sebuah jawaban yang tak pernah kusangka-sangka:

“ Angela sudah pergi dari hidupku. Tahun ini baru kutahu, anak itu bukanlah anakku. Dia hanya cari kambing hitam untuk dijadikan perisai bagi dirinya, agar dia tidak lagi malu. Aldi, anak dari pacarnya sebelum aku.”

Aku takjub. Tak lagi mampu berbicara. Kututup kedua mulutku. Aku shock dengan pengakuannya ini.

“ Selama ini aku telah tertipu. Dan aku pun keliru, karena aku mau diriku sendiri terjebak dalam tipuan itu. Bahkan aku sempat menikmatinya. Angela memang cantik, tetapi dia tidak jujur. Bukan hanya itu, dia pun sering selingkuh di belakangku. Dan kini, aku tahu, betapa sakitnya hatimu ketika dulu kulakukan hal itu terhadapmu.”

“ Lan, aku memang manusia berdosa. Dosaku begitu besar padamu dan Tifa. Apa mmmm…. Apa masih ada kesempatan bagi kita untuk memulai kembali lembaran baru?”

Aku diam lagi. Aku tak tahu, apakah ini jawaban atas doa-doaku. Selama ini, aku berdoa untuk dikuatkan dalam menghadapi semua pencobaan di hidupku. Aku juga memohon, kalau suatu saat ada kemungkinan bagi kami untuk bersatu, biar Tuhan buka jalan bagi Don dan diriku. Inikah saat yang tepat bagi-Mu?

Aku tak bisa langsung mengangguk setuju. Walaupun amat ingin kulakukan itu. Aku hanya bilang pada Don:

“ Mungkin masih ada kesempatan, tapi aku masih belum tahu apa aku bisa kembali seperti dulu.”

Don tidak kecewa dengan jawabanku. Setelah pergi delapan tahun dari aku dan Tifa, tentunya tidak semudah itu kubuka lagi pintu hatiku.

Dan kami memilih memulai kembali sebagai sepasang kekasih. Seperti dulu, kala pertama kali kami bertemu. Kami mulai lagi berkencan. Juga pergi dengan Tifa anak kami. Nonton bioskop bersama, olahraga bersama, juga jalan-jalan ke Bandung bersama.

Perlahan, kebekuan pun mencair. Berganti sinar mentari yang menyinari dengan indahnya rumah tangga kami. Kami tak pernah cerai dan Don masih suamiku yang sah. Walaupun dia sudah pernah begitu mengecewakan aku dan sangat menyakiti hatiku, tetapi aku memilih memaafkannya. Menerima dirinya sekali lagi dalam hidupku. Tifa pun terlihat lebih ceria dan bahagia. Dia juga butuh figur seorang Papa. Yang dulu coba kupertahankan walaupun sakit hati, tetapi Don sendiri yang pergi dari kami. Kini Don kembali. Benang cinta yang sempat terputus, kini kami rajut kembali.

Ada keindahan dalam kesabaran. Sabar menanggung yang menyakitkan, sabar menanti rencana-Nya terwujud dalam kehidupan kami. Dan pada akhirnya, kami nikmati kedamaian dalam hidup kami. Hal yang tak pernah henti kudoakan, walaupun seolah sia-sia di waktu lalu. Aku juga sadar, di masa depan, badai mungkin bahkan hampir pasti akan datang lagi, tetapi akan kami hadapi bersama. Aku, Don, dan Tifa. Serta dengan tuntunan tangan Tuhan yang senantiasa setia pada setiap umat-Nya.

Kami serumah lagi. Suamiku yang hilang, mendua, kembali setia. Seperti mimpi saja. Kucubit tanganku sendiri, sakit! Ini realita yang sungguh indah!

Ho Chi Minh City, 8 September 2011

@ copyright Fonny Jodikin

No comments:

Post a Comment