Sunday, September 6, 2009

Anak

Malam ini, ketika seharian bepergian dengan anak saya yang sedang aktif-aktifnya di usia 2 tahun lebih, saya termenung. Rasa lelah menyerang juga, sementara ini memang saya mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari membersihkan rumah, memasak, sampai mengasuh anak. Dulu, tak pernah terbayangkan akan begini jadinya, namun setelah tinggal di negeri orang begini, inilah jalan yang dipilih.

Anak yang bisa bikin tertawa karena lucu, sekaligus bisa bikin mengelus-elus dada, karena pada kenyataannya mengurus dan membesarkan anak bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi bila berhadapan dengan pendidikan anak untuk menjadi manusia yang berkualitas, sungguh… perlu kerja ekstra keras!
Di tengah kondisi yang seperti ini, yang tak sama dengan Indonesia, saya tidak heran, ketika teman-teman saya di sini amat berpikir untuk menambah anak lagi. Tak heran pula, ketika mereka memilih konsisten di angka 1 (satu). Mereka hanya mau satu anak, tak lebih! Karena mereka mau yang berkualitas dan mau mencurahkan perhatian penuh kepada satu anak ini saja.

Dengan berpikir punya anak satu saja sudah begini rasanya, kalau melihat orang yang memiliki dua, tiga, empat, atau lima anak di negeri orang begini, tanpa bantuan siapa pun dan mengurus sendiri, saya sering mengacungkan jempol saya kepada mereka. Khususnya kepada orang Jepang, yang kebanyakan saya lihat selalu mandiri dan jarang pakai pembantu. Walaupun di Singapura juga bukan hal yang sulit untuk memperoleh pembantu dibandingkan dengan negara Amerika, Australia, ataupun Eropa misalnya, namun, mereka memilih membesarkan dan mengasuh sendiri (plus bantuan child care, semacam tempat penitipan anak sembari si anak belajar di sana). Dan pikiran saya terbayang kejadian-kejadian yang saya jumpai dalam seminggu ini…

Blessed Sacrament Church, Minggu, 30 Agustus 2009
Di pagi yang diguyur hujan itu, saya pergi ke gereja. Dan saya melihat seorang ibu yang nampaknya orang Filipina membawa dua orang anaknya ke gereja. Tampaknya, anak-anak si ibu agak bule, saya pikir itu campuran pastinya. Dan tak lama, saya lihat bapak dari anak-anak itu, dan ketika saya menoleh ke bangku panjang di sebelah kanan saya, ternyata anak mereka bukan cuma dua, melainkan 5. L-I-M-A?
Iya, lima!
Untuk hari gene masih punya anak lima, mungkin menakjubkan. Dengan segala pertimbangan, banyak orang berhenti di angka 2 atau 3. Teman saya bahkan pernah mengatakan, “ Elo udah itung berapa biaya sekolah di Jakarta?” Itu pertanyaan balik yang dia berikan kepada seseorang yang bertanya, mengapa dia tidak menambah anak lagi?
Saya tidak tahu, apakah si Ibu membesarkan sendiri tanpa bantuan baby sitter atau pembantu. Yang pasti, pembantu/susternya tidak ikut ke gereja dan walaupun ada yang membantu, saya kira, konsentrasi yang terpecah untuk suami, diri sendiri, plus lima anak, tentunya bukan hal yang mudah. Apalagi di masa sekarang ini.
Two thumbs up, Mommy! Hebat!

St. Ignatius Church, Minggu 6 September 2009
Pagi ini petir menyambar dengan kencang, mengiringi hujan deras. Setelah agak reda, saya memutuskan untuk ke gereja agak pagi, karena siangnya saya ada acara.
Di gereja ketika misa, lagi-lagi saya melihat seorang wanita cukup cantik, masih muda, menggendong seorang bayi dan diiringi 2 anak lainnya yang masih balita. Semuanya pria!
Dikelilingi tiga jagoan, si ibu biasa-biasa saja, tenang. Sang ayah tak lama menyusul. Kelihatannya mereka orang Jepang, walaupun yang pria berkulit sedikit gelap. Tapi mereka amat sabar menolong anak-anak mereka. Dan kalau yang ini, saya rasanya percaya, kalau mereka betul-betul sendirian mengurus ketiga anaknya.

Oh iya, sebelum ini, saya punya tetangga, yang juga memiliki 3 anak. Orang Jepang. Dia mengurus sendiri ketiga anaknya. Termasuk menggendong yang satu (yang masih bayi), ketika yang lain tengah dijemput saat pulang sekolah. Baru-baru ini mereka pindah ke Hongkong dengan kondisi anak kedua sekitar 2.5 tahun, dan anak ketiga baru 2-3 bulan. Anak tertua memang sudah agak besar, 7 tahun-an.
Rasanya, ngenes juga, ketika melihat mereka seperti itu. Sekaligus kembali acungan jempol, karena mereka tetap bisa mengatasi segala hal yang terjadi dan tetap tegar dengan mengasuh tiga anak…

Malam ini, di rumah …
Sebagai seorang Katolik, saya sadar bahwa Katolik memang amat mencintai kehidupan. Dengan tidak mendukung aborsi dan kontrasepsi kecuali sistem kalender yang natural, gereja Katolik memiliki sikap untuk menerima kehidupan.
Banyak orang memilih aborsi ketika tahu bahwa anak yang dikandung terkena down syndrome ataupun cacad, namun gereja selalu mengarahkan umat-Nya untuk tidak meng-aborsi, karena mereka memiliki hak untuk hidup.
Memang, harus diakui, ini adalah pilihan yang sulit. Ketika si anak yang dinanti tiba, hadir dalam bentuk yang tak sesuai dengan impian, dan orang tua harus memilih, apa yang harus dilakukan?

Gereja tetap mengarahkan umat-Nya untuk menerima. Apa pun itu, salib yang dipanggul, hendaknya memberikan kesempatan hidup.

Terbayang, pertanyaan seorang tetangga juga, tentang kapan saya akan menambah anak. Secara jujur, dari dalam hati, saya juga sempat mikir, kalau nambah gimana ya? Dengan kondisi yang mengurus sendiri dan segalanya sendiri, yang membuat saya nyaris tak punya waktu pribadi, apa saya mau? Kalau mikir soal ego dan kepentingan pribadi, tentunya jawaban yang logis adalah TIDAK.
Satu cukuplah, yang penting kualitas. Dan itu berarti, harus jaga supaya tidak punya anak lagi. Apa pun caranya.
Namun, ketika saya melihat kebesaran hati para orang tua di dua gereja yang saya jumpai dalam seminggu ini, saya juga terdorong bahwa ada orang-orang yang masih berjiwa pemberani untuk menerima karunia Allah dalam bentuk anak, bukan hanya dua, tapi lima!
Kalau zaman dulu, orang yang punya anak 5 atau 9 misalnya, masih biasa. Mungkin anak-anak dulu lebih mudah diatur. Mungkin zaman dulu juga anak-anaknya belum se-aktif sekarang. Mungkin…dan mungkin… Sekaligus saya juga menyadari, semudah-mudahnya jaga anak zaman dulu, juga susah koq… Tidak gampang… Kalau sekarang ada diapers, baby wipes, dulu orang tua (mama) kita yang harus mencuci tiap kali kita poop. Sekarang lebih praktis, tinggal buang.
Memang, orang tua dan mertua pun mengakui kalau anak-anak sekarang lebih aktif dan pintar-pintar, tapi saya juga berpikir ada kemudahan di masa kini yang tidak didapatkan di zaman dulu.
Semua ada plus minusnya juga.

Membesarkan anak, bukan pekerjaan mudah. Tetapi itu adalah bagian dari tanggung jawab ketika pasangan menikah dengan konsekuensi mendapatkan anak-anak sebagai buah cinta mereka.
Dan ketika mereka dikaruniai dua, tiga, atau empat anak, mungkin orang bakal membelalakkan mata sambil berkata: “ Hari gene, punya anak banyak? Gak mikir kali ya…!”

Jujur saja, ketika melihatnya sebagai beban, tentunya tidak siap. Tetapi ketika melihatnya sebagai suatu hal menghargai kehidupan, sesulit apa pun, seberat apa pun, asalkan sesuai dengan jalan Tuhan, pastinya bisa dilalui.

Hari ini, ketika melihat orang-orang yang dikaruniai anak banyak dan tetap menerima, saya merasa ada pola pikir yang harus diubahkan. Ketika Tuhan memberikan anak-anak dalam suatu perkawinan, berapa pun jumlahnya, memang adalah anugerah.
Walaupun saya tahu capeknya membesarkan sendiri kayak apa, tapi saya juga percaya suatu saat nanti kalau Tuhan tambahkan jumlah anak itu dalam keluarga saya, mudah-mudahan saya diberi kekuatan untuk menjalaninya.

Dan ketika berpikir begitu banyak pula pasangan yang rindu anak tanpa bisa mendapatkannya, bukankah sebaiknya yang diberi anugerah hendaknya menerima?
Mungkin, tidak sejalan dengan pilihan dunia. Mungkin, banyak orang terkesan membodoh-bodohi kita. “ Udah tau zaman susah, koq masih produksi aja?”
Dengan mencoba tetap melakukan pencegahan natural bila dirasa perlu dan mencoba menerima rencana Allah ketika si anak dianugerahkan kepada kita, mungkin ini saatnya memberanikan diri untuk berkata, “ Terima kasih Yesus untuk anugerah-Mu. Berapa pun jumlah anak yang diberikan / ditambahkan kepadaku, mudah-mudahan aku siap…”

Anak, bayi, calon bayi, adalah cikal bakal kehidupan sendiri. Semoga kita tidak menjadi seseorang yang bermental ‘pembunuh’ dengan mencoba meng-aborsi satu kehidupan yang dititipkan kepada kita. Dia juga ingin hidup. Terlebih lagi, dia punya hak untuk hidup…

Singapore, 7 September, 2009
-fon-
* yang belum tahu kapan dikasih tambahan anak berikutnya, namun sedang mempersiapkan hati ketika suatu hari nanti, satu kehidupan lagi ditambahkan melalui kita… Tidak mudah, namun semoga kita masih bisa menghargai kehidupan itu sendiri…Amin.

No comments:

Post a Comment