Friday, November 27, 2009

Perempuan Berplester


Beberapa hari yang lalu, di milis para penulis renungan harian wanita dan teman-temannya, saya menemukan suatu pertanyaan yang amat menarik, dilemparkan oleh salah seorang dari kami yang berprofesi sebagai psikolog.

Tergelitik dengan tingkah laku pada teenagers yang setiap hari saya temui....... ada situasi yang ingin saya tanyakan.... silakan ditanggapi dengan cara apapun...

Kira-kira apa yang akan kalian lakukan jika suatu hari melihat seorang remaja perempuan (umurnya kira-kira 14 tahun....kamu cukup mengenalnya. .......beberapa bulan yang lalu kamu melihatnya dipangku oleh sang pacar di tempat umum dan sejak itu kamu tidak bisa lupa wajahnya)... .suatu pagi, dilehernya tertempel sebuah plester kecil (kira-kira berukuran 1x2 cm) (dulu sih waktu saya seusia itu....teman- teman yang menggunakan plester tersebut menutupi 'akibat perbuatan sang pacar' terhadap lehernya)... ...

What will you say or do to her???

Inilah kenyataan yang harus dihadapi. Mau tidak mau, suka tidak suka, anak remaja sekarang memiliki keberanian yang berbeda dengan yang ditunjukkan dengan generasi sebelumnya. Walaupun bukan berarti tingkah laku generasi sebelumnya lebih baik, namun harus pula diakui bahwa kemudahan teknologi, penyebaran informasi lewat internet dan media massa lainnya juga membuat mereka menjadi matang lebih cepat. Di zaman sekarang ini, mengasuh dan mendidik anak menjadi semakin sulit. Menjadi PR alias pekerjaan rumah yang tak ada habisnya bagi para orang tua, guru, pendidik, dan keluarga. Prihatin dengan keadaan ini, teman saya melemparkan pertanyaan tersebut. Dan ditanggapi dengan macam-macam jawaban. Dan salah satu jawaban yang paling menyejukkan dan melegakan, datang dari seorang sahabat dalam Kristus, Riko Ariefano sebagai berikut:

Dengan asumsi bahwa kita mau membawa anak ini kepada Tuhan dan Gereja, maka ada beberapa hal yang mungkin jadi reaksi saya pribadi. Secara umum ini adalah dasar-dasar pendekatan buat generasi ini, yang diwakili oleh remaja perempuan 14 tahun berplester di leher...

1. Tidak menghakimi.

Generasi ini sudah terlalu sering mendapat cap "bobrok", "tidak bermoral", "rusak" dan sebagainya, sehingga seringkali apapun perilaku orang-orang muda, mereka langsung dipandang dari sudut negatif. Ini stigma yang menyedihkan karena buah apel jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya. Dengan kata lain, orang muda sering dinilai gagal padahal mereka adalah korban kegagalan generasi sebelumnya - tanpa mengurangi segala hormat pada generasi senior. Plester di leher bisa saja bekas digigit serangga, plester di leher bisa saja bekas bisul yang mau ditutupi, walaupun plester di leher bisa juga akibat perbuatan pacarnya. Tapi yang terpenting adalah, sikap hati kita jangan terlalu cepat melemparkan "judgement" sehingga belum apa-apa, sikap ini justru sudah menjadi halangan terbesar bagi kita untuk merangkul orang-orang muda dengan kasih Tuhan.

2. Menjadi sahabat dan saudara

Pemberontakan - salah satu stigma yang melekat pada generasi ini, salah satunya juga berakar dari kurangnya figur "authority" yang baik di mata mereka, khususnya dari keluarga mereka, misalnya kurangnya figur bapa/ayah yang penuh kehangatan kasih tapi juga sekaligus berpegang teguh pada prinsip2 kebenaran. Pendekatan authoritative seperti menegur atau mengajar seringkali justru menjadi counter-productive bagi generasi ini (Elo mau ngajarin gue? Emangnya elo siapa?). Pintu masuk yang selalu baik adalah kasih, persahabatan, dan persaudaraan - berada di tengah-tengah mereka, menangis dan tertawa bersama mereka, serta mendengar dari dekat apa yang mau diserukan oleh debar jantung mereka. Kehadiran yang jujur dan tulus selalu mendapat tempat istimewa di hati orang muda. Ini termasuk berdoa untuk mereka (atau untuk si perempuan berplester). ..

3. Mencari akar masalah

Duduk di pangkuan pacar dan plester di leher (karena pacar) adalah gejala di permukaan, padahal masalahnya selalu lebih dalam daripada itu, dan selalu berujung pada luka serta kurangnya pengalaman dicintai dan diakui. Maka sharing pengalaman hidup dengan suasana persahabatan dan persaudaraan adalah jalan menuju akar masalah yang sesungguhnya. Ini pastinya mengandaikan "trust" yang sudah terbangun dengan baik.

4. Berbagi kasih dan kebenaran

Bila sudah terbangun persahabatan dan persaudaraan yang baik, maka jangan pernah takut untuk berbagi kebenaran! Orang muda selalu haus akan kebenaran dan kebahagiaan sejati - dan hanya kasih Tuhan yang bisa memuaskan kehausan ini secara utuh. Ceritakan (bukan ngajarin) pada mereka tentang Tuhan Yesus yang hidup dan ajak mereka untuk datang ke Dia. Berbagi kasih dan kebenaran yang sejati selalu berujung pada pengalaman perjumpaan dengan pribadi Yesus. Apabila mereka, atau si perempuan berplester ini, sudah berjumpa dengan pribadi Yesus yang sungguh memesona dan memenuhi hatinya dengan cinta, maka dia akan bersedia melepaskan pangkuan pacar dan plester di leher (karena pacar), karena dia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih indah dan berharga. Sesuatu ini ternyata adalah seorang pribadi bernama Yesus.

5. Mengajak berkomunitas

Hidup yang berubah karena berjumpa dengan Yesus harus didukung dengan kelompok sahabat-sahabat yang sama-sama berpusat pada Yesus. Maka penting banget untuk mengajak dia berkenalan dengan sebuah komunitas yang bisa saling mendukung di dalam kasih dan kebenaran sejati. Mudah-mudahan dengan hidup berkomunitas yang sehat, perempuan berplester ini kemudian juga punya hati untuk cerita tentang Yesus ke perempuan-perempuan berplester lainnya...

Catatan terakhir:

Menurut saya pribadi, masing-masing dari kita adalah perempuan berplester di leher akibat perbuatan pacar kita. Plester di leher itu kan hanya tanda bahwa kita punya plester di hati. Hanya saja pacar-pacar kita tidak/belum kelihatan orang lain (atau mungkin sudah?). Plester ini bisa jadi berupa seks, rokok, workaholic, pujian berlebihan dari orang lain, uang, dsb, atau bentuk kompensasi dari luka akibat kurangnya kasih Allah di hati kita masing-masing. Dan setiap dari kita butuh pengalaman perjumpaan dengan pribadi Yesus terus menerus, sampai hati ini meluap dengan cinta. Dengan pengalaman perjumpaan terus menerus, kita dimampukan untuk melepaskan plester-plester ini, dan melangkah meraih mimpi-mimpi hati kita bersama cinta Tuhan.

in HIS love,

R.

(dalam proses melepaskan plester juga, so please don't judge me, but love me instead)

Saya dan beberapa teman tersentuh sekaligus tergerak dengan jawaban Riko yang menyejukkan, merangkul dengan kasih Kristus, sekaligus mengingatkan bahwa kita semua adalah perempuan berplester. Berplester dalam arti memiliki luka yang ingin disembuhkan lewat kasih-Nya. Plester itu (kembali mengutip catatan Riko dan sedikit menambahkan dari versi saya) : berupa seks, narkoba, rokok, workaholic, gila pujian, uang, pornografi, pribadi yang penuh kemarahan, dan segala bentuk kompensasi dari luka akibar kurangnya kasih Allah dalam hati kita masing-masing.

Kita semua adalah perempuan berplester, kalau saja kita mampu melihat para remaja dengan cara yang sama. Kalau saja kita bisa melihat orang lain dengan cara yang sama. Bahwa kita semua terluka. Everybody hurts, including me. Semua orang terluka, termasuk saya juga. Jadi, saya tahu rasanya terluka dan itu menyakitkan. Saya tahu rasanya lari dari luka itu dan mencoba untuk sembuh. Dengan berbagai cara yang saya kira akan menyembuhkan, namun nyatanya semakin membawa saya kepada dosa yang memisahkan saya semakin jauh dengan Allah. Anak muda ingin dipandang dengan kasih. Dengan tidak dihakimi. Begitu pun dengan diri kita. Dengan diri orang lain juga begitu. Tak ada yang suka dihakimi. Namun, takkan ada yang menolak bila pendekatan itu dilakukan dengan kasih. Dengan cinta Allah. Kita semua pernah mengalami, pernah merasakan, bahkan mungkin masih berjuang akan miskinnya kasih dalam diri kita. Namun, dengan merangkul sesama, siapa pun mereka tak terkecuali para generasi muda penerus bangsa dalam tindakan cinta yang penuh kasih, saya yakin generasi harapan bangsa itu akan mendapatkan sesuatu yang berbeda. Karena kasih Allah selalu menjadikan semuanya baru. Dengan kepenuhan di dalam kasih-Nya, orang tidak akan lagi lari mencari sesuatu yang bukan dari-Nya. Karena mereka tahu, semua yang bukan dari Allah adalah sementara. Hanya berupa loncatan dari satu dosa ke dosa lainnya. Satu ketergantungan ke ketergantungan lainnya. Hanya bersama DIA, kebebasan sepenuhnya akan tercipta. Iman akan Allah melepaskan ketergantungan negatif lainnya.

Kita semua perempuan berplester yang ingin sembuh, ingin melepaskan plester, koyok, perban, yang selama ini ada di tubuh kita. Yang selama ini ada di hati kita. Mari kita kembali kepada kasih Allah yang sejati. Kristus sendiri. Yang selalu mampu memulihkan dan membasuh semua luka dengan kasih-Nya. Proses yang terus-menerus ini hendaknya dimulai saat ini. Jangan hakimi orang lain, jangan hakimi remaja berplester, namun rangkul mereka dengan cinta. Tuhan, penuhi diri kami yang berplester ini dengan cinta-Mu.

HCMC, 27 November 2009

-fon-

* trims buat Ika Sugianti dan Riko Ariefano buat kesediaannya membagikan hal ini untuk saya jadikan tulisan. GBU frenz…! :)

No comments:

Post a Comment