Wednesday, June 30, 2010

Mengapa Kau Gelisah, Jiwaku?




Ya, TUHAN, lihatlah, betapa besar ketakutanku, betapa gelisah jiwaku; hatiku terbolak-balik di dalam dadaku….[a]

Kupandangi wajahku di cermin yang terletak di meja rias di kamarku. Wajahku yang tampan itu, mulai ditumbuhi kumis dan jenggot yang tak beraturan. Tak biasanya. Tak seharusnya. Karena aku yang metroseksual dan superstar ini, tak mungkin mengecilkan arti penampilan seperti itu. Di balik cermin itu, kulihat lagi diriku. Postur tinggi 178cm, berat badan seimbang. Gagah. Tetapi, aku tak lepas dari masalah. Ayahku yang sudah tua itu, tengah sakit kanker stadium tinggi. Tak ada lagi harapan baginya untuk sembuh. Karirku sendiri? Cukup baik, walaupun kuakui persaingan semakin ketat. Aku memiliki banyak rencana: konser, sinetron, film. Ya, terutama konser di Jepang di mana sebagian besar fansku di luar Korea berasal.

Jangan dikira kehidupan selebriti yang seolah indah itu tak pernah menawarkan duka. Justru, paket duka itu terlalu sering kuterima. Tak seindah film yang kumainkan, tak seindah musik yang kuperdengarkan. Tak jarang, aku merasa sepi, sendiri, tak punya lagi privasi. Aku ketakutan. Dengan hebat ia menggoncangkan hatiku. Gelisah jiwaku. Resah luar biasa. Seolah hatiku terbolak-balik di dalam dadaku. Tidur? Ia pun sudah lama tak berkawan denganku. Ia seolah jadi barang berharga yang mahal, karena untuk tidur pun aku harus minum obat-obatan penenang.

Terlalu pelik semuanya kutanggung sendiri. Sendiri? Iya, betul-betul sendiri, tanpa pernah percaya orang lain untuk berbagi. Tak jarang, aku ingin mati. Dengan mati, kupikir akan menyelesaikan banyak masalah. Yang pasti, aku tak harus menderita di dunia ini. Jangan bicara padaku soal Tuhan. Aku sendiri tak yakin Ia ada. Kalau Ia ada, mengapa semua seolah di luar kendali-Nya? Aku semakin yakin, bahwa aku memang harus mengendalikan hidupku sendiri. Bukan bergantung pada yang aku tak tahu pasti seperti itu.

Maafkan aku, Ayah! Aku harus pergi. Tak sanggup lagi kujalani hidup ini, kalau isinya semuanya simfoni duka tak berkesudahan. Kubasuh kakinya sekali lagi, sambil terus mengucap maaf. Semoga sungguh ia bisa maafkan aku. Kupandangi kabel charger yang tergeletak tak jauh dari meja riasku itu. Entah mengapa, hari ini dia begitu bersemangat memanggil-manggil aku dan memberikanku ide baru. Menjadikannya alat untuk mengakhiri hidupku….

Selamat tinggal, dunia. Cukup sudah kualami semua kepedihan ini. Aku adalah pengendali tunggal hidupku. Aku yang menentukan kapan aku mati dan dengan cara apa. Kalaupun harus seperti ini, aku puas. Setidaknya, inilah kematian yang sesuai dengan waktuku. Jangan lagi ceramahi aku soal Tuhan, keluarga, atau kemungkinan hidup bahagia. Aku sudah terlalu muak dengan kesemuanya itu. Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal gelisah, ketakutan, dan kecemasan. Hatiku, tenanglah kamu, karena ini semua akan berakhir.

Kuambil kabel charger itu, kugantung diriku. Selesai sudah… Selamat tinggal masalah!

***

Kurasakan rohku meninggalkan tubuhku. Jauh, melayang tinggi. Sementara di sampingku, dua malaikat pencabut maut terkekeh kegelian seolah puas aku telah mengikuti kemauan mereka, menghantarkanku menuju gerbang yang nampak indah berkilau. Inikah surga? Mengapa luarnya begitu indah? Ah, enak juga ternyata….Mati itu menyenangkan…! Satu sesal terberat adalah aku meninggalkan ayahku yang sakit keras. Aku yang muda ini memutuskan untuk pergi lebih dulu sebelum dia yang tua dan sakit-sakitan meninggal dunia. Sepanjang perjalanan, kulihat awan berarak, langit biru. Sementara di beberapa bagian, awan mulai menggumpal dan berwarna kelabu tua, membuatku ingin berenang di antaranya: menyambut hujan yang akan tiba. Kilatan petir menyambar di beberapa tempat, hujan deras, guntur pun seolah tak kompromi, tetapi aku terus melayang. Terbang. Ringan di udara.

Saat duduk di salah satu awan itulah, kudengar suara yang amat jelas. Memancar penuh sinar kemuliaan.

“ Mengapa kauakhiri hidupmu? Mengapa tidak menunggu waktu-Ku?”

“ Ah, apa pula urusanmu? Bukankah aku bebas berkehendak dan melakukan apa yang kumau?” Jawabku tak peduli.

“ Aku tahu kegelisahan hatimu, mengapa kau tidak mencari-Ku? Malahan kaupergi dari penyelenggaraan-Ku? Kau mungkin tertekan, kau memang gelisah. Tetapi, bukankah Kau juga bisa berharap kepada-Ku? Seperti Pemazmur yang serahkan seluruh takut dan gelisahnya kepada-Ku? Mengapa tidak kaulakukan itu?”

Tiba-tiba suara lain bergema. Suara malakaitkah itu? Yang pasti, kembali kulihat dua orang yang kali ini berbaju ‘broken white’, bersayap, dan memiliki lingkaran di atas kepalanya. Mereka terus mendaraskan kata-kata ini:

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku![b]

Terus dan terus, tak putus-putusnya mereka ucapkan itu.

Entah perkataan dari mana itu? Aku tak tahu, mungkin itu yang Dia katakan sebagai Pemazmur yang serahkan ketakutan dan gelisahnya? Aku masih tak mengerti…

Tiba-tiba saja kembali sepasang malaikat lain yang berwajah sangar serta berpakaian serba hitam mengangkutku secara paksa. Kucoba membebaskan diri, tetapi seolah sia-sia. Mereka membawaku ke pintu gerbang indah itu-yang nampaknya rupawan dan menggoda, tetapi aku tak tahu pasti ada apa di balik sana….


[a] Ratapan 1:20a

[b] Mazmur 42:11

HCMC, 1 Juli 2010

-fon-

* RIP Park Yong Ha, korean Superstar-actor, singer. Really sad that you have to leave this world on your own will…

Foto: Park Yong Ha


No comments:

Post a Comment