Sunday, June 13, 2010

Puji Tuhan



Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat! Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat! Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi! Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling! Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang! Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

--- Mazmur 150:1-6

Nien menangis sesenggukan ketika membaca ayat dari Kitab Mazmur itu. Adalah hal yang mudah- ketika segala keadaan baik adanya-untuk memuji Tuhan. Namun, jika yang tengah dialami adalah badai kehidupan yang berat semacam ini, masihkah ia bisa memuji nama-Nya?

Sebulan sebelum pernikahannya, malahan dia harus menghadapi kenyataan berat ini. Pembatalan pernikahannya dengan Victor. Memuakkan, sekaligus menyesakkan. Berpikir bahwa masa pacaran yang empat tahun itu cukup untuk membuatnya mengenal calon pasangannya. Kisah klise yang seolah terjadi hanya di film-film belaka terjadi juga pada dirinya. Victor pergi meninggalkannya. Yang gilanya dengan pimpinan EO pernikahan mereka sendiri. Apa daya, Winny memang memesona. Waktu pertama kali berjumpa Winny pun, sebetulnya Nien berhasil menangkap sinyal genit yang dikirimkan calon suaminya itu kepada Winny lewat kerlingan matanya. Nien mengerti, itu kelemahan Victor kalau lihat cewek cantik. Tetapi, apa ya mbok gak bisa tahan diri sedikit saja? Ini ‘kan lagian bersama calon istrinya, yang sudah dipacarinya empat tahun dan dalam hitungan bulan akan jadi istri sahnya.

Dalam diam, Nien mencatat semuanya dalam hati saja. Bungkam. Mungkin salah, tetapi dia tak bermaksud untuk menuduh Victor juga. Walaupun dia tahu, dia mungkin sudah terlanjur cinta dan berpikir dengan perkawinan mereka mungkin semuanya akan selesai. Begitu saja. Padahal sisi lain dari dirinya terus mengingatkannya, buat apa dilanjutkan kalau respek sudah tak ada? Sebetulnya hubungan mereka sudah terlanjur mencapai tingkah hambar. Hambar seolah sayur yang tanpa garam. Sayur yang kurang bumbu. Enggak enak ajalah. Tetapi, daripada nggak kawin? Sementara yang menunggu perkawinan Nien tercatat seluruh keluarganya dan berharap agar ekonomi mereka sedikit terangkat dengan menikahi besan yang kaya, menjadi satu beban tersendiri juga. Tidak semua anggota keluarganya memang. Ibunya tidak. Karena memang mama tidak mata duitan. Mama malah selalu menyarankan untuk ikut mata batinnya. Suara hatinya agar mengikuti apa yang dibisikkannya. Walaupun seruannya perlahan, walaupun kesannya nyaris tak terdengar, tetapi sebetulnya ia tak henti berbicara.

Setelah puas menyesali semua yang terjadi, mengasihani diri, sekaligus membenci kenyataan mengapa harus begini…Tiba-tiba suara itu tak lagi pelan. Tak lagi berbisik. Kali ini dia berkata tegas:

“ Teruslah berterima kasih untuk segala hal. Teruslah memuji Tuhan, apa pun yang terjadi. Segala pencobaan ini takkan melebihi kekuatanmu. Coba kau bayangkan, kalau suatu saat kau menikah nanti dan dia malah main gila serta menceraikanmu, apa kau mau? Belum lagi kalau nanti sudah ada anak dari kalian berdua, dia juga harus jadi korban kesalahan keputusan yang kaupaksakan.”

Nien terdiam. Hmmm, betul juga pikirnya.

Mengapa hanya keluh kesah saja yang keluar dari mulutnya? Mengapa bukan ucapan syukur? Mengapa bukan ucapan terima kasih bahwa dia terbebas dari seorang pria bernama Victor yang tak pernah respek padanya sebagai wanita, sebagai calon istri. Nien takut menghabiskan waktu dalam hidupnya sendirian, tetapi kalau menikah hasilnya ditinggal, juga apa gak lebih parah? Memang sih, apa yang terlihat sekarang bukanlah melulu jaminan. Mungkin saja, Victor berubah dan jadi betulan cinta padanya. Namun, dengan kenyataan semacam ini-pembatalan pernikahan ini, apa dia harus argumentasi lagi dengan Tuhan?

“ Maafkan aku, Tuhan, kalau selama ini ucapan yang keluar dari mulutku hanya caci-maki, keluh-kesah, dan mengasihani diri. Aku bukanlah orang yang kuat dalam menghadapi pencobaan semacam ini. Ditambah lagi, memang aku masih menyimpan rasa pada Victor walaupun dia memperlakukanku dengan tidak pantas. Tetapi, Tuhan. Izinkan aku mengubahnya hari ini. Ubah ucapan burukku jadi ucapan syukur. Puji Tuhan, terima kasih kepada-Mu kalau ternyata pernikahan ini tidak terjadi. Aku yakin, inilah jalan terbaik dari-Mu. Kalau malah terjadi, mungkin aku akan lebih menderita ketimbang derita perasaan yang kurasakan semacam ini. Aku percaya, Tuhan sekali lagi, bahwa rencana-Mu adalah yang terbaik. Kalaupun kesakitan ini harus kualami, tentunya Kau takkan tinggalkan aku, tak kurang panjang pertolongan-Mu padaku. Aku percaya pada-Mu. Biarkanlah aku memuji-Mu, mempersembahkan semua sakit yang kurasakan karena aku tahu dan percaya dengan memuji-Mu hal-hal yang positif akan datang kepadaku. Dengan memenuhi hidupku dengan keluh-kesah belaka, aku akan terus memenuhi kepalaku dengan hal-hal yang menyakitkan dan menambah palu kesakitan yang terus diketukkan di hatiku- tanpa henti ke dalamnya. Yang ada hanya nyeri dan pilu belaka. Aku tak mau lagi, Tuhan, menyakiti diriku. Mengecewakan-Mu. Biarkan aku memuji-Mu saja mulai detik ini sekaligus kembali percaya dalam iman bahwa memang inilah rencana terbaik-Mu dalam hidupku,” Nien menutup doanya saat itu, dirasakan ketenangan yang luar biasa. Dia tahu, mungkin luka itu akan coba bermain-main dengannya. Dengan kembali mengunjunginya, mengucapkan salam sesekali sambil berharap menguakkan kembali cerita lama. Semoga dia kuat di dalam Tuhan. Semoga dia terus bisa memuji nama Tuhan gantikan semua duka dan kecewa yang pernah singgah dengan pujian dan merasakan bedanya.

Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Ya, itu yang akan terus dilakukannya:)

Dua tahun kemudian…

Nien memandang lurus ke pekarangan rumahnya yang sudah penuh ditanami bunga-bunga yang indah. Ini rumahnya, rumah bersama suaminya, yang baru saja dinikahinya seminggu yang lalu. Perjumpaan mereka amat cepat, seolah tak terencanakan dan proses hubungannya dengan Joe terjadi secepat kilat. Dalam enam bulan mereka sudah serius dan berniat tunangan. Dalam setahun mereka sudah bicara soal gedung pernikahan. Dan minggu lalu mereka sudah naik ke pelaminan.

Setelah mengucap syukur, Tuhan mulai membuka satu per satu rencana-Nya akan pasangan hidupnya. Bukan lagi Victor yang kemudian ternyata kena karma atas Winny yang meninggalkannya bersama pria lain tak lama setelah mereka menikah.

Dirinya dan Joe melangkah pasti dalam kebersamaan. Dalam tuntunan tangan Tuhan. Akhirnya Nien bisa buktikan bahwa percaya itu indah bukan hanya sekadar judul lagu belaka, namun akan berlaku bagi mereka yang sungguh mempercayakan hidupnya kepada Tuhan.

Puji nama-Mu, Tuhan. Raja di atas segala raja. Penguasa segalanya. Takkan dirinya ragu lagi untuk terus berpegang pada-Nya dalam situasi terburuk atau terpuruk sekalipun…

Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

Nien akan terus berusaha melakukannya…Karena memang hanya Dialah yang layak dipuji dan ditinggikan untuk selama-lamanya…

HCMC, 11 -13 Juni 2010

-fon-

* mengingatkan diri sendiri ‘the power of praising’ adalah biar bagaimana pun akan lebih kuat daripada ‘the power of complaining’.

Sumber gambar:

http://ambassadoroftruth.files.wordpress.com/2009/08/worship.jpg

No comments:

Post a Comment